Virginia Veryastuti Memperjuangkan Literasi bagi Anak-anak Kaum Marjinal
Tanpa donatur tetap, gerakan literasi bagi anak-anak dari kaum marjinal di Jakarta dijalankan Melati Taman Baca yang berada di bawah naungan Kelompok Kerja Sosial atau KKS Melati. Didorong semangat berbagi, sebagai penggagas KKS Melati, Virginia Veryastuti (43), tak berhenti memperjuangkan kehadiran volunter yang mau terus bergerak sebagai pegiat literasi.
Virginia yang akrab disampai Vie, menggagas KKS Melati bersama sahabatnya, Nandha Julistya dan Susetiorini Adiningsih pada tahun 2001. Sebelumnya, Vie sering terlibat dalam kegiatan kesukarelawanan, saat masih kuliah di Universitas Gunadarma. Saat ikut kegiatan sosial Gelar Kebon di Kebun Ragunan, Jakarta, dia pun bertemu Nanda dan Rini.
Kemudian, mereka bertiga sepakat memilih bidang literasi untuk berkarya. Mereka tetap ingin melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat. Hingga kini, mereka eksis melayani anak-anak dan masyarakat.
“Dari ngobrol-ngobrol di ruang tamu rumah Rini, lalu tercetus untuk membuat gerakan membaca. Kami melihat anak-anak yang jarang membaca. Padahal, kami suka membaca karena kebiasaan dari orang tua,” kata Vie.
Vie suka membaca karena almarhum ayahnya, RJ Soenarjo, seorang guru SD, mencintai buku dan menjadi penulis buku mata pelajaran. Dia meyakini membaca akan memberi wawasan. Budaya baca harus jadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia, sejak anak-anak di lingkungan keluarga.
Dari ngobrol-ngobrol di ruang tamu rumah Rini, lalu tercetus untuk membuat gerakan membaca.
Mereka pun merancang untuk membawa buku berkeliling kampung di sekitar Jakarta. Langkah pertama dimulai dengan menggelar lapak buku cerita anak di kampung tidak jauh dari Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Kegiatan disatukan dengan penyuluhan kesehatan bagi para ibu.
“Awalnya, anak-anak cuma melihat saja buku. Akhirnya putar otak supaya mereka mau membaca. Saya bacakan saja buku sambil mengajak mereka lihat-lihat buku. Di awal, enggak ngerti deh gimana menjalankan kegiatan literasi. Intinya, hanya mau mengajak anak-anak suka membaca,” kata Vie.
Kegiatan berkeliling di akhir pekan atau libur sambil membawa kardus buku terus dilakukan secara bergantian. Beruntungnya, ada volunter yang punya mobil sehingga kegiatan menggelar lapak buku berpindah-pindah bisa dilanjutkan.
“Kami tidak bisa mengubah semua kaum marjinal untuk menghadapi masa depan yang lebih baik. Tetapi bersyukur beberapa dari mereka dengan adanya taman baca jadi bisa punya wawasan dan mengubah pilihan hidup. Kami ingin mendekatkan mereka pada akses kesehatan dan pendidikan,” ujar Vie.
Kami tidak bisa mengubah semua kaum marjinal untuk menghadapi masa depan yang lebih baik. Tetapi bersyukur beberapa dari mereka dengan adanya taman baca jadi bisa punya wawasan dan mengubah pilihan hidup.
Kegiatan taman bacaan berkembang dengan kegiatan mendongeng dan bermain. Saat itu, Vie suka menuliskan kegiatan gelaran buku bagi anak-anak kampung ini lewat mailing list. “Kisah kegiatan kami yang tersebar di milis tersebar. Mulai ada donatur yang mau sumbang buku, memberi uang, hingga ikut langsung.
Kami ingin membuat kegiatan volunter yang menyenangkan, yang nyandu. Padahal di masa itu, kegiatan volunter belum seramai seperti sekarang,” kata Vie.
Mencari volunter
Tahun 2003, Vie memutuskan mengontrak rumah petak di sekitar Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan. Sewa rumah kontarkan Rp 300.000/bulan didapatkan dengan patungan. “Seiring dengan berkembangnya kegiatan, kami mulai cari nama lembaga. Akhirnya dibuat nama KKS Melati. Kami pilih melati, meskipun kecil, tapi tetap bisa bertahan dan bermanfaat,” ujar Vie.
Sekretariat KKS Melati dengan kegiatan utama menggelar lapak bacaan harus berpindah. Di tahun 2005, sekretariat dipindah di rumah kontrakan yang tidak jauh dari rumah Vie.
Vie mengusulkan supaya kegiatan literasi dengan gelar buku secara berpindah bisa difokuskan saja di Melati Taman Baca di rumah sewa Jalan Ampera, Jakarta Selatan. Apalagi, di sekitar rumah sewa itu banyak anak-anak dari kaum marjinal yang merupakan pendatang. Mereka membutuhkan ruang publik untuk bermain sambil berkegiatan yang bermanfaat. Selain itu, anak-anak perlu disentuh dengan kebiasaan membaca.
Menurut Vie, niatnya untuk mendirikan Melati Taman Baca sempat diragukan. Teman-temannya khawatir jika tidak ada relawan yang bersedia membantu taman baca yang harus mulai dikelola secara serius. Sebab, mereka yang terlibat selama ini juga sibuk bekerja dan urusan lainnya. Selain itu, koleksi buku juga masih terbatas.
“Saya bilang, saya akan bertanggung jawab. Jika tidak ada relawan lagi yang membantu, saya sendiri yang akan menutup pintu taman baca. Alhamdulillah, ada saja relawan yang mau membantu,” kata Vie.
Banyak prestasi yang ditorehkan anak-anak binaan Melati Taman Baca, mulai dari lomba menggambar, mewarnai, dan menulis, hingga terlibat dalam pentas teater di sejumlah acara di DKI Jakarta. Tahun 2014, Melati Taman Baca mendapat penghargaan Taman Baca Kreatif Masyarakat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kegiatan literasi yang dilakukan KKS Melati tak hanya lewat Melati Taman Baca. Kegiatan mendongeng dilakukan bagi anak-anak yang dirawat di rumah sakit seperti di RS Cipto Mangunkusumo, RS Harapan Kita, dan RS Fatmawati. Selain itu, kegiatan mendongeng juga dilakukan di panti cacat ganda. Untuk kegiatan ini, Vie mengajak relawan lain yang mau hadir untuk mendongeng dan berbagi hadiah untuk menghibur anak-anak.
Putar buku
Melati Taman Baca juga berbagi untuk mendorong kegiatan literasi. Mereka mempunyai program putar buku dilakukan di sepuluh rumah singgah yang tersebar di wilayah Jakarta. Program ini sempat terhenti karena kesibukan para relawan yang selama ini membantu.
Di tahun 2017, kegiatan putar buku dilakukan lagi dengan menyediakan starter kit berisi 130 buku. Masyarakat yang mau jadi relawan untuk membuka pintu rumahnya seagai taman bacaan, bisa mendapatkan bantuan starter kit dari Melati Taman Baca.
“Kami mulai seriusi lagi untuk membuat KKS Melati berkembang. Para relawan dari generasi milenial mulai bergabung dan memberi masukan,” ujar Vie.
Vie mengatakan mengelola taman baca tidak mudah. Ada kalanya terasa jenuh, ada kalanya karena sibuk urusan keluarga atau kerja, kegiatan di taman baca jadi terbengkalai. Dia pun bersyukur niat baik untuk berbagi bagi anak-anak dan masyarakat lewat Melati Taman Baca selalu menemukan jalan baik.
“Selalu ada relawan yang datang. Bagi saya, mengerjakan taman baca sama dengan bekerja dengan Tuhan. Selama kita melakukan hal baik, Tuhan selalu buka jalan. Termasuk dalam pengelolalaan an pembiayaan,” ujar Vie.
Vie mengaku tidak murah untuk membiayai kegiatan taman baca. Rumah kontrak saja satu tahun sudah berkisar hampir Rp 25 juta. Padahal, Melati Taman Baca tidak punya donatur tetap.
“Di akhir tahun 2018, kami sempat bingung dan kelimpungan. Uang kontatrak hanya tersedia Rp 5 juta. Padahal untuk ngontrak sekaligus dua tahun butuh biaya Rp 50 juta,” ujar Vie.
Tanpa diduga, Vie mendapat telepon dari bekas rekan kerjanya yang mengetahui kegiatan sosialnya. Vie direkomendasikan kepada salah satu bank yang hendak menggelar kegiatan bagi anak-anak.
Vie mengiyakan tanpa terpikir soal uang. Baginya, yang penting anak-anak mendapatkan kegiatan yang menyenangkan. Tidak disangka-sangka, usai acara Vie diberi uang Rp 26 juta. Di awal tahun 2019, lagi-lagi Vie dikontak bank yang sama untuk melakukan kegiatan bersama anak-anak Melati Taman Baca. Vie mendapat tambahan uang Rp 20 juta.
Virginia Veryastuti
Lahir : Jakarta, 30 Agustus 1975
Pendidikan : Sarjana Manajemen Informatika di Universitas Gunadarma, Jakarta
Penghargaan:
TBM Kreatif - Rekreatif Kemendikbud (2014)
Pekerjaan:
- Redaksi Majalah Dinding Pelangi di PT Media Inovasi Global (2013-sekarang)
- Tim ahli Dewan Perpustakaan Jakarta dalam penyelenggaraan program (2014)
- Reporter Garuda Inflight Magazine di Indomultimedia Group (2008-2012)
- Bekerja di konsultan hukum hak kekayaan intelektual (1998-2002)