Bupati Supian Hadi Tersangka, Kerugian Negara Tembus Rp 5 Triliun
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Supian Hadi sebagai tersangka. Penetapan ini terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan terhadap tiga perusahaan di Kabupaten Kotawaringin Timur Tahun 2010-2012. Perkara ini diduga merugikan keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 5,8 triliun dan 711 ribu dollar Amerika Serikat.
Oleh
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Supian Hadi sebagai tersangka. Penetapan ini terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan terhadap tiga perusahaan di Kabupaten Kotawaringin Timur Tahun 2010-2012. Perkara ini diduga merugikan keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 5,8 triliun dan 711 ribu dollar Amerika Serikat.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif bersama Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengumumkan hasil penyidikan kasus tersebut dalam konferensi pers di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (1/2/2019).
"Hari ini kami sampaikan perkembangan salah satu penanganan perkara dengan indikasi kerugian keuangan negara yang cukup besar, bila dibandingkan dengan kasus lain yang pernah ditangani KPK, setara dengan kasus KTP Elektronik yang kerugiannya mencapai Rp 2,3 triliun dan BLBI yang mencapai Rp 4,58 triliun," kata Laode.
Selama menjadi Bupati Kotawaringin Timur pada periode 2010-2015, Supian diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan menyalahgunakan kewenangan yang merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining (AIM) di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Supian disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Perkara ini diduga merugikan keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 5,8 triliun dan 711 ribu dollar Amerika Serikat yang dihitung dari hasil produksi pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan, dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT FMA, PT BI, dan PT AIM," lanjut Laode.
Peningkatan status kasus ini ke penyidikan dilakukan setelah KPK melakukan penyelidikan sejak 2015. Menurut Febri, ini dilakukan melalui metode case building (pembangunan kerangka kasus), yang berbeda dengan operasi tangkap tangan (OTT) pada umumnya.
"Ini menjadi temuan kasus korupsi sumber daya alam dengan angka dugaan kerugian yang sangat besar," ujarnya.
Izin ilegal
Dari total dugaan kerugian mencapai Rp 5,8 triliun tersebut, kerugian sebesar Rp 2,3 triliun dihitung berdasarkan hasil produksi perusahaan tambang tersebut.
Meski beberapa perusahaan yang disebutkan sudah bisa berproduksi, mereka belum memegang izin yang legal sesuai persyaratan. Hal ini terkait penyalahgunaan wewenang yang dilakukan tersangka Supian.
"Setelah dilantik selaku Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, Supian mengangkat teman-teman dekatnya yang merupakan tim suksesnya sebagai Direktur dan Dirut pada PT FMA dan mendapat masing-masing jatah 5 persen saham PT FMA," kata Laode.
Pada Maret 2011, Supian menerbitkan Surat Keputusan (SK) lzin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi seluas 1.671 Hektar kepada PT FMA yang berada di kawasan hutan. Padahal dia tahu, PT FMA belum memiliki sejumlah dokumen perizinan, seperti izin lingkungan/AMDAL dan persyaratan lainnya yang belum lengkap. Sejak November 2011, PT FMA telah melakukan kegiatan operasi produksi pertambangan bauksit dan melakukan ekspor ke China.
Pada akhir November 2011, Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, mengirimkan surat pada Supian agar menghentikan seluruh kegiatan usaha pertambangan oleh PT FMA. Namun, PT FMA tetap melakukan kegiatan pertambangan hingga 2014. Pemberian izin pertambangan yang menyalahi aturan juga dilakukan Supian terhadap dua perusahaan lainnya.
Supian juga menerbitkan SK IUP Eksplorasi untuk PT BI pada 2010 tanpa melalui proses lelang Wilayah lzin Usaha Pertambangan (WIUP). PT BI sebelumnya juga tidak memiliki Kuasa Pertambangan (KP). Pada Februari 2013, Supian menerbitkan SK IUP tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
kepada PT BI, meski tanpa dilengkapi dokumen AMDAL.
Pada April 2013, Supian menerbitkan Keputusan tentang Izin Lingkungan Kegiatan Usaha Pertambangan Bijih Bauksit oleh PT BI dan Keputusan tentang Kelayakan Lingkungan Rencana Kegiatan Pertambangan Bijih Bauksit oleh PT BI. Berdasarkan perijinan tersebut, sejak Oktober 2013, PT BI melakukan ekspor bauksit.
Kepada PT AIM, Supian menerbitkan IUP Eksplorasi PT AIM tanpa melalui proses lelang WIUP, padahal PT AIM sebelumnya tidak memiliki KP. PT AIM lalu melakukan kegiatan eksplorasi yang merusak lingkungan sehingga perusahaan itu diduga menimbulkan kerugian lingkungan.
Dugaan suap
Terkait dengan sejumlah pemberian izin tersebut, Supian yang kini masih menjabat sebagai Bupati Kotawaringin Timur
periode 2016-2021 diduga telah menerima suap berupa uang hingga kendaraan roda empat senilai Rp 2,56 miliar yang diduga diterima melalui pihak lain. Penerimaan itu tidak dihitung sebagai kerugian negara.
"Dengan dilakukannya penyidikan perkara ini, maka bertambah daftar kepala daerah yang dijerat dalam kasus korupsi, baik terkait dugaan penerimaan suap ataupun penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian izin pertambangan kepada pengusaha," pungkas Laode.
Laode mengaku sangat prihatin atas penguasaan potensi sumber daya alam yang begitu besar oleh sekelompok pengusaha yang tidak bertanggung jawab. Ia pun meminta agar perusahaan tambang lainnya tidak melanggar prosedur yang seharusnya.
"Khusus pengusaha yang bekerja di sumber daya alam jangan memulai sesuatu sebelum semua izinnya selesai (diurus). Karena kalau menimbulkan kerusakan, maka akan membatalkan semua proses itu," pesan Laode.
KPK juga akan memperjuangkan agar penegak hukum, dalam hal ini hakim, nantinya dapat memonetisasi dugaan kerugian negara akibat kerusakan alam dari perizinan tambang ilegal tersebut.
"Apakah itu akan dikabulkan hakim atau tidak, itu yang akan kita perjuangkan. Kita berharap pada peradilan, ini dilihat sebagai sesuatu yang penting karena berdimensi lingkungan dan ada kerugian perekonomian negara yang besar," pungkasnya. (ERIKA KURNIA)