GOWA, KOMPAS - Degradasi lingkungan menghantui daerah aliran Sungai atau DAS Jeneberang-Saddang di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Area seluas 19.500 hektar di wilayah aliran sungai mendesak direhabilitasi demi memperkecil dampak bencana hidrometeorologi
Di hadapan seluruh Kepala Unit Pelayanan Terpadu, Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, di Gowa, Jumat (1/2/2019), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, tegaskan rehabilitasi DAS sebagai prioritas.
“Penyebab utama bencana adalah kerusakan hulu daerah aliran sungai. Presiden sendiri yang perintahkan untuk merehabilitasi DAS secara cepat dan tuntas, demi keselamatan banyak nyawa” ujarnya.
Menurut Siti Nurbaya, bencana banjir dan longsor yang dipicu bertambahnya lahan kritis di sekitar DAS dalam 6 tahun terakhir rata-rata bisa mencapai 40 kali per tahun. Cuaca sendiri hanya jadi pemicu utama bencana yang diakibatkan kerusakan lahan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengalokasikan Rp 200 miliar untuk merehabilitasi area seluas 19.500 hektar di DAS Jeneberang, meliputi Kabupaten Gowa, Takalar, dan Jeneponto. Penanaman serentak rencananya akan dimulai Oktober tahun ini.
Akumulasi dari berkurangnya daya serap tanah di area DAS serta sedimentasi longsoran kaldera Gunung Bawakaraeng picu banjir besar. Tingginya debit air Jeneberang ditambah banyaknya sedimen yang terbawa arus, sebabkan bendungan Bili-Bili kelebihan kapasitas. Padahal saat dibangun, volume maksimal dari bendungan ini mencapai 375 juta meter kubik.
“Setelah rehabilitasi DAS lewat reboisasi, mekanisme kehutanan sosial harus dibangun. Dengan begitu, fungsi hutan tetap terjaga dan masyarakat di sekitar hutan tetap dapat keuntungan ekonomi,” ujar Siti Nurbaya.
Mekanisme kehutanan sosial, lanjut dia, tetap akan memberi akses kepada masyarakat terhadap hutan, dengan catatan fungsi dari hutan tidak terganggu.
Direktur Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, Ida Bagus Putera Parthama menuturkan, luas wilayah lahan kritis di DAS Jeneberang-Saddang mencapai 17.032,3 hektar, atau mencapai 23 persen dari total luas lahan.
Dari sisi penggunahan, lahan sebagian besar digunakan untuk lahan kering, kemudian permukiman, dan pertambangan. “Alih fungsi ini membuat lahan kritis ini tidak mampu menyimpan air hujan. Saat curah hujan ekstrem, sementara daya tampung tanah berkurang, terjadilah banjir,” kata Putera.
Alih fungsi
Kepala Dinas Kehutanan Sulsel Muhammad Tamzil mengakui alih fungsi lahan dari kawasan konservasi banyak terjadi di wilayah hulu dari Sungai Jeneberang tepatnya di Desa Malino, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa.
“Menurut estimasi, kurang lebih ada 20-30 persen wilayah konservasi di Malino beralih fungsi. Sementara ini pembahasan lintas sektoral terkait penataan tata ruang yang tepat untuk kepentingan konservasi masih berlangsung,” ujarnya.
Di antara wilayah konservasi di Desa Malino, terdapat Taman Wisata Alam (TWA) Malino yang luasnya mencapai 3.500 hektar. Namun, sekitar 40 persen dari wilayah yang termasuk area TWA Malino beralih fungsi sebagai permukiman dan lahan pertanian kering.
“Perbaikan fungsi hulu DAS Jeneberang akan mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Aspek ekologi akan diupayakan tidak abai terhadap kepentingan ekonomi masyarakat,” ujar Tamzil.
Relokasi
Sementara itu, Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan memastikan seluruh korban terdampak bencana longsor di Desa Pattalikang, Kecamatan Manuju, akan direlokasi. Pendataan penduduk untuk mengetahui kebutuhan unit rumah relokasi akan dilakukan setelah masa tanggap darurat berakhir pada Senin (4/2) pekan depan.
“Semua masyarakat yang tyerkenda dampak bencana longsor akan dicarikan tempat yang lebih strategis dan aman,” ujarnya.
Untuk menghindari kesalahan informasi terkait relokasi, pihaknya akan turun langsung menemui warga untuk melakukan sosialsiasi. Hal ini baru dapat dilakukan usai evakuasi terhadap warga yang masih dikategorikan hilang tuntas.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggualangan Bencana (BNPB), hingga pukul 15.00 tercatat sebanyak 79 orang meninggal dunia, 1 orang hilang, dan 46 orang luka-luka akibat bencana longsor dan banjir yang terjadi di wilayah Sulsel.