Data Pangan yang Valid Bisa Bantu Stabilisasi Harga Pangan
JAKARTA, KOMPAS – Inflasi sebesar 0,32 persen pada Januari 2019 dinilai oleh sejumlah kalangan, relatif terkendali. Meski demikian, yang menjadi persoalan utama adalah kenaikan harga bahan pangan yang mudah bergejolak. Jika tidak dimitigasi, inflasi akan kian meningkat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi dari kelompok bahan makanan itu sebesar 0,92 persen. Andilnya terhadap inflasi awal tahun ini sebesar 0,18 persen. Komoditas pangan dominan memberikan sumbangan inflasi, yaitu ikan segar (0,06 persen) dan beras (0,04 persen).
“Inflasi dari kelompok harga bahan pangan yang mudah bergejolak ini sangat tinggi, bahkan mendekati satu. Perlu diingat juga bahwa inflasi bahan bergejolak itu sensitif terhadap daya beli masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, saat dihubungi Kompas, Jumat (1/2/2019).
Enny menegaskan, jika tidak segera diatasi, persoalan ini akan menurunkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Akibatnya, kualitas hidup masyarakat, khususnya masyarakat pra sejahtera akan semakin memburuk. Sebab, komponen makanan menjadi penyumbang terbesar dalam garis kemiskinan.
Dalam catatan BPS, peranan komoditi makanan masih jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Besarnya sumbangan garis kemiskinan makanan terhadap garis kemiskinan pada September 2018 mencapai 73,54 persen.
Pada September 2018, komoditi makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan pada umumnya hampir sama. Beras masih memberi sumbangan sebesar 19,54 persen di perkotaan dan 25,51 persen di perdesaan.
“Dalam keadaan seperti ini, yaitu terjadi inflasi harga bahan pangan, sementara pendapatan relatif stagnan, maka konsekuensinya, daya beli menurun. Sebab, porsi pendapatan sudah habis untuk memenuhi bahan pangan,” papar Enny.
Kesejahteraan petani
Kenaikan harga pangan pokok seharusnya berjalan beriringan dengan peningkatan kesejahteraan petani. Namun, peningkatan nilai tukar petani (NTP) sebagai indikator pengukur kesejahteraan petani belum banyak berubah.
NTP merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP juga menjadi salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan.
Semakin tinggi NTP, secara relatif berarti semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani. Angka NTP di atas 100 berarti surplus karena petani menikmati keuntungan. Petani mampu menjual lebih besar daripada biaya produksi yang dikeluarkannya. Sementara jika di bawah 100, berarti petani defisit.
Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta menyampaikan, pada Januari 2019, BPS mencatat, NTP sebesar 103,33, bergerak naik 0,16 persen dari bulan sebelumnya. Angka ini juga lebih tinggi dibandingkan bulan Januari di tahun-tahun sebelumnya.
“Hampir seluruh subsektor NTP mengalami kenaikan kecuali dua subsektor, yaitu hortikultura dan peternakan. Masing-masing turun 0,34 persen (hortikultura) dan 0,08 persen (peternakan),” ucap Suhariyanto.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menyampaikan, walaupun meningkat, namun NTP masih di bawah angka ideal, yaitu 125. Maka, pihaknya terus mendorong agar petani memproduksi kebutuhan sendiri sehingga mengurangi pengeluaran mereka untuk makanan.
“Kami juga mengusulkan agar ada penganekaragaman makanan yang belum maksimal, khususnya di subsektor hortikultura seperti pisang, keladi, dan singkong. Selain itu, penggunaan kompos pun sedang kami intensifkan untuk menggantikan penggunaan pupuk dan racun kimia,” ujar Henry.
Tak hanya itu, untuk terus meningkatkan kesejahteraan petani, Henry menyampaikan sedang melaksanakan program desa berdaulat benih. “Tujuannya agar petani bisa memproduksi benih secara mandiri dan bisa juga diproduksi oleh koperasi serta badan usaha milik negara agar harga tidak tinggi,” kata Henry.
Alarm pengingat
Sebenarnya, angka inflasi awal tahun ini jauh lebih rendah dibandingkan Januari 2016 dan 2017 yang masing-masing sebesar 0,62 persen dan 0,97 persen. Kendati demikian, kondisi ini tetap menjadi alarm pengingat bagi pemerintah untuk mewaspadai dan menjaga harga pangan agar tidak membebani masyarakat.
Enny menyampaikan, jika dilihat lebih jauh, kenaikan harga pangan ini berasal dari sisi penawaran. “Katakanlah seperti ini, kalau dari dari sisi produksi dalam negeri itu kurang, tapi kan kita sudah dipenuhi dengan impor. Seharusnya harga komoditas pangan menjadi rendah. Tapi kenapa di ujung saat sampai ke masyarakat, harga tetap tinggi?,” ujarnya.
Perlu diingat juga, untuk produksi pangan dalam negeri harus segera ada mitigasi terhadap potensi penurunan produksi akibat anomali iklim. Maka, menurut Enny, validasi data menjadi sangat penting untuk langkah mitigasi, khususnya di bulan Februari dan Maret untuk stabilitas harga pangan.
Secara terpisah, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti menambahkan, stabilisasi harga bahan makanan itu harus diutamakan. Hal itu dapat dilakukan dengan cara antara lain menjaga jangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi yang efektif.
“Tren ketersediaan beras di awal tahun ini bagus. Namun, walaupun suplai cukup, pemerintah tetap harus memperhatikan persoalan distribusi antardaerah. Apabila distribusi tidak seimbang, itu juga dapat menyebabkan kenaikan harga,” kata Yunita.
(SHARON PATRICIA)