Dilema Odong-odong Ibu Kota
Kehadiran odong-odong di tengah warga Jakarta menjadi dilema. Sebagian membutuhkannya untuk hiburan dan transportasi berbasis lingkungan. Di sisi lain, odong-odong melanggar aturan.
Di Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, odong-odong jadi angkutan serbaguna. Selain untuk pesiar keliling kampung, odong-odong berfungsi sebagai angkutan lingkungan dari rumah ke pasar, ke lingkungan permukiman lain, atau mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah.
Senin (3/12/2018) sore, Fatimah (60) turun dari odong-odong yang merapat di trotoar jalan raya dekat Rusun Jatinegara Barat, Jatinegara, Jakarta Timur. ”Saya habis belanja bahan dagangan di Pasar Jatinegara,” kata pedagang gorengan ini.
Sore itu, warga Kampung Pulo ini hendak pulang ke kediamannya di Rumah Susun Jatinegara Barat. Di kawasan itu, mikrolet hanya lewat di jalan raya, tidak sampai bantaran kali. Begitu pula dengan ojek pangkalan yang hanya ada di pasar.
Sementara itu, odong-odong menyediakan jasa angkutan melintas di jalan inspeksi bantaran kali, Jalan Kampung Melayu Besar, hingga Jalan Jatinegara Barat. Rute ini bisa saja berubah sesuai permintaan penumpang.
Baca juga: Odong-odong
Keluwesan jalur perlintasan ini membuat sebagian warga merasa lebih nyaman menggunakan odong-odong daripada mikrolet. Mikrolet sering ngetem mencari penumpang dan tarifnya lebih mahal, yaitu Rp 3.000 per orang.
Sementara odong-odong, penumpang hanya membayar Rp 2.000, tanpa ngetem, dan bonus angin sepoi-sepoi. Sebagian juga merasa odong-odong lebih asyik dibandingkan ojek yang ongkos termurahnya Rp 5.000. Odong-odong serasa lebih mengakrabkan mereka sesama warga Kampung Pulo.
Setidaknya ada 20 odong-odong berbagai jenis yang beroperasi di Kampung Pulo. Ada kereta kelinci (kijang doyok), modifikasi mobil pikap, kendaraan roda tiga, mikrolet, dan minibus. Sementara kapasitas penumpang biasanya 8-16 orang tergantung ukurannya.
Pengalaman naik odong-odong terasa lebih rekreatif karena kendaraan ini dihias dengan ragam warna bergambar macam-macam tokoh kartun. Odong-odong umumnya beroperasi pukul 08.00-12.00 dan 14.00-18.00.
Tatang S (59), sopir odong-odong Kampung Pulo, menceritakan, odong-odong mulai marak di sana sejak 2015 setelah jalan inspeksi di bantaran Kali Ciliwung dibangun. Mulanya odong-odong hadir untuk mengantar anak-anak sekolah ke Kelurahan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, yang berbatasan kali dengan Kampung Pulo. Lambat laun odong-odong menjadi sarana wisata dan angkutan sehari-hari warga.
Pagi sampai siang odong-odong dipakai untuk antar jemput anak sekolah atau transportasi keliling kampung. Sorenya dipakai untuk berpesiar keliling kampung atau kecamatan lain, seperti Tebet dan Manggarai.
”Sabtu-Minggu biasanya dicarter untuk ke tempat wisata, seperti ke Monas atau Lapangan Banteng. Kadang juga dicarter untuk pergi hajatan atau pengajian,” ujar Tatang.
Sabtu-Minggu biasanya dicarter untuk ke tempat wisata, seperti ke Monas atau Lapangan Banteng. Kadang juga dicarter untuk pergi hajatan atau pengajian.
Tatang menyadari, odong-odong tidak boleh beroperasi di jalan raya. Dia beberapa kali pernah terjaring razia. Terakhir kali pada 23 November 2018 ketika dia melintas di Jalan Kampung Melayu Besar.
Meskipun bisa menunjukkan SIM dan STNK, Tatang tetap ditilang karena odong-odong tidak boleh ke jalan raya. ”Itu cuma lagi apes. Sehari-hari memang kucing-kucingan sama petugas. Kadang saya minta anak untuk memantau jalan raya pakai sepeda motor, ada polisi atau tidak. Kalau tidak, saya jalan,” ujarnya.
Baca juga: Bak Terbuka Jamak Disalahgunakan
Andi (38), sopir odong-odong lainnya di Kampung Pulo, memodifikasi mobil pikap orangtuanya menjadi odong-odong dengan modal Rp 4 juta.
Setiap hari, Andi menjalankan odong-odong di dekat kediamannya di Rusun Jatinegara Barat, Pasar Jatinegara, dan bantaran Kali Ciliwung. Dalam sehari dari pukul 08.00-19.00, dia bisa menuntaskan 20 putaran dengan omzet Rp 300.000. Penghasilan bersih Andi setelah dipotong biaya bensin, setoran, dan uang makan, berkisar Rp 100.000-Rp 120.000.
Tidak hanya di Kampung Pulo, di Kelurahan Cipayung, Jakarta Timur, odong-odong juga digemari warga. Namun, odong-odong hanya dipakai untuk keliling kampung dengan tarif Rp 3.000 untuk anak-anak dan Rp 5.000 untuk dewasa plus anak-anak. ”Cucu saya senang naik odong-odong. Biasanya untuk momong atau menyuapkan makan,” kata Arumiyati (48), warga Cipayung.
Sehari-hari memang kucing-kucingan sama petugas. Kadang saya minta anak untuk memantau jalan raya pakai sepeda motor, ada polisi atau tidak. Kalau tidak, saya jalan.
Suryanto (37), sopir odong-odong di Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, sudah tujuh tahun menarik odong-odong. Sebelumnya, dia sopir travel. Lantaran capek, dia beralih mengemudikan odong-odong. Dengan pekerjaan barunya, Anto merasa lebih leluasa mengatur waktu, tenaganya tidak terlalu dikuras, dan penghasilan cukup. Dalam sehari, penghasilan bersihnya Rp 100.000.
Permintaan pasar
Karena adanya permintaan pasar, pembuatan odong-odong terus berjalan, seperti yang dijalani Agus Soleh (40), pembuat odong-odong di Kelapa Dua Wetan, Jakarta Timur. Sejak 2011, pekerja bengkel Agus sudah memodifikasi 250 mobil Kijang menjadi odong-odong dengan kapasitas 18 orang. Selain dari Jakarta, Agus melayani pemesanan dari Lampung, Bangka Belitung, Palimanan, Indramayu, dan Madiun.
Agus dan pembuat odong-odong lain memasarkan odong-odong melalui cerita dari mulut ke mulut, media sosial, ataupun blog pribadi. Untuk pengiriman lintas pulau, odong-odong dikirim dengan paket kapal. Jika pengiriman melalui jalur darat, odong-odong dijemput pemesan atau diantar pembuat dengan dikemudikan sampai ke tujuan.
Sebelum membuat odong-odong, Agus adalah montir bengkel mobil biasa. Sejak melayani permintaan membuat odong-odong tahun 2011, dia beralih jadi pembuat odong-odong. Pendapatan dari membuat odong-odong bisa empat kali lipat dibandingkan membuka bengkel mobil biasa. ”Dulu ketika masih buka bengkel biasa, untuk bayar kontrakan pas-pasan. Sekarang ketika jadi pembuat odong-odong, bisa bikin rumah,” ujarnya.
Baca juga: Wisata Pangkahwetan, Disambut Pencak Macan dan Odong-odong
Odong-odong biasanya dibuat dengan memodifikasi mobil bekas. Proses pembuatan odong-odong memakan waktu sekitar satu bulan per unit. Agus lebih senang membuat odong-odong daripada kijang kotak karena mesin dan sasisnya kuat. ”Ban, rem, dan aki baru semua. Hampir semua direkondisi. Pernya sudah saya tambah. Yang tidak layak kita ganti,” ujarnya.
Harga odong-odong standar, tanpa televisi, perangkat pemutar musik, dan terpal penutup jendela, dipatok Rp 50 juta. Sementara itu, versi lengkapnya dipatok Rp 55 juta. Keuntungan dari tiap unit odong-odong bervariasi dari Rp 5 juta hingga Rp 7 juta.
Tahun 2012-2013, bengkel Agus sempat jaya ketika odong-odong sedang populer di Jakarta. Namun, sejak kecelakaan odong-odong di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, pada 6 Mei 2014, yang menyebabkan lima anak tewas dan tujuh lainnya luka-luka, pesanan odong-odong anjlok.
Beberapa tahun terakhir, pesanan odong-odong kembali banyak. Dengan enam karyawan, dua tukang cat, dua tukang las, dan dua montir, Agus bisa memenuhi pesan 10-15 odong-odong setahun.
Menurut Agus, pendapatan sopir odong-odong rata-rata bisa Rp 300.000 per hari. Kalau ada sewaan, pendapatan bisa Rp 600.000-Rp 700.000. Agus mengharapkan pemerintah tidak hanya melihat sisi negatif dari odong-odong, tetapi juga sisi positifnya.
Odong-odong dibutuhkan warga sebagai hiburan murah dan sumber pencarian. ”Kalau tidak bisa beri legalitas, binalah. Jangan diusik. Silakan melarang, tetapi juga harus ada solusi,” ujarnya.
Kalau tidak bisa beri legalitas, binalah. Jangan diusik. Silakan melarang, tetapi juga harus ada solusi.
Rawan kecelakaan
Setelah kejadian di Bekasi tahun 2014, kecelakaan odong-odong beberapa kali terulang. Dalam enam bulan terakhir, setidaknya ada dua insiden kecelakaan yang melibatkan odong-odong. Pada 27 Juli 2018, mobil odong-odong terperosok ke dalam saluran air akibat tertabrak truk ketika melintas di Jalan Dr Rajiman Widyodiningrat, Cakung, Jakarta Timur. Sebelas anak luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit. (Kompas.com, 27/7/2018)
Pada 21 November 2018, mobil odong-odong tercebur ke parit di Jalan Sadar Raya, Jagakarsa, Jakarta Selatan, saat mengangkut rombongan anak-anak. Kecelakaan diduga akibat sopir kehilangan kendali. (Kompas.com, 21/11/2018).
Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Budianto menjelaskan, keberadaan odong-odong melanggar aturan Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Setiap angkutan umum harus memenuhi standar pelayanan minimal, antara lain dari aspek keamanan, keselamatan, keterjangkauan, dan keteraturan. ”Kendaraan odong-odong yang mengangkut orang dari aspek keamanan dan keselamatan tidak memadai dan membahayakan,” ujarnya.
Beberapa hal yang membahayakan dari odong-odong, antara lain tidak ada sabuk pengaman, belum pernah uji tipe dan uji berkala, dinding pengaman tidak memadai, dan sebagainya. Odong-odong juga tidak memiliki asuransi. Jika terjadi kecelakaan, tidak ada yang menanggung asuransinya.
”Untuk bisa melintas di jalan raya ataupun jalan permukiman mengangkut penumpang, odong-odong harus memenuhi persyaratan sebagai angkutan umum,” ujarnya.
Karena itu, petugas gabungan kerap melakukan razia operasi odong-odong di sejumlah tempat. Pelaksana Tugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko mengakui jangkauan angkutan umum ke lingkungan warga belum ideal.
Saat ini rata-rata jarak lingkungan masyarakat dengan akses angkutan umum 1 kilometer. Melalui Jak Lingko, jarak itu akan dipangkas menjadi 500 meter secara bertahap. Namun, selama program ini belum mencapai target, warga mencari jalan keluar sendiri. Salah satunya dengan menggunakan odong-odong. (YOLA SASTRA)