JAKARTA, KOMPAS — Daya tarik investasi manufaktur semakin terkikis karena daya saing yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Dengan pertumbuhan realisasi investasi yang menurun, sektor industri manufaktur diperkirakan sulit tumbuh hingga 5 persen pada tahun ini.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada 2018 sebesar Rp 721,3 triliun. Angka ini lebih rendah dari target sebesar Rp 765 triliun kendati lebih tinggi dari realisasi 2017 yang mencapai Rp 692,8 triliun.
Realisasi investasi sektor industri manufaktur tumbuh dari Rp 199,1 triliun pada 2014 menjadi Rp 236 triliun pada 2015. Kenaikan berlanjut pada 2016, menjadi Rp 335,8 triliun.
Namun, pada 2017 realisasi investasi sektor industri manufaktur turun menjadi Rp 274,7 triliun. Pada 2018, penurunan berlanjut menjadi Rp 222,3 triliun.
”Pertumbuhan investasi manufaktur tidak hanya melambat, tetapi sudah terkontraksi sejak 2017. Industri manufaktur yang menjadi sektor sekunder biasanya memiliki kontribusi besar terhadap total investasi dibanding sektor primer dan jasa. Namun, sejak 2017 nilai realisasi investasi sektor manufaktur di bawah jasa,” ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal yang dihubungi pada Kamis (31/1/2019) di Jakarta.
Berdasarkan indeks daya saing manufaktur global (Global Manufacturing Competitiveness Index) yang diterbitkan Deloitte pada 2016, Indonesia berada di urutan ke-19 dunia. Adapun China di urutan pertama. Indonesia kalah dari Singapura (10), Thailand (14), Malaysia (17), dan Vietnam (18).
Laporan indeks disusun berdasarkan sejumlah kriteria kondisi dan pencapaian industri manufaktur. Kriteria itu antara lain talenta, biaya produksi, produktivitas tenaga kerja, jaringan pemasok, sistem hukum dan regulasi, infrastruktur fisik, perpajakan, serta ekonomi dan keuangan.
Menurut Faisal, iklim usaha sektor manufaktur harus diperbaiki. Daya saingnya juga perlu ditingkatkan agar lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Wujud perbaikan tidak melulu berupa insentif fiskal. Pemerintah mestinya segera mengimbangi kehadiran insentif itu dengan konsistensi kebijakan antarkementerian dan lembaga.
Pembangunan sektor industri manufaktur perlu dilakukan dengan menerapkan prioritas. Selain itu, pemerintah juga disarankan memudahkan pengadaan lahan bagi investasi manufaktur.
”Selain menyusun insentif fiskal atau kebijakan nonfiskal yang efektif, kami rasa pemerintah perlu mempertimbangkan kecepatan eksekusi dari setiap kebijakan. Jangan sampai ketinggalan agar industri manufaktur Indonesia tetap mampu bersaing dengan negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara,” ujar Faisal.
Relokasi
Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Peningkatan Produk Dalam Negeri, Imam Haryono, seusai menghadiri seminar ”Outlook Ekonomi dan Industri 2019”, membenarkan, Indonesia diuntungkan dengan rencana sejumlah perusahaan China yang ingin merelokasi industri. Relokasi itu dilakukan akibat perang dagang China-Amerika Serikat.
Meski demikian, Imam mengaku belum memiliki data pasti terkait relokasi itu.
Imam juga menyatakan, sektor industri manufaktur tetap menjadi andalan Kementerian Perindustrian.
Mengacu pada Manufacturing Purchasing Manager\'s Index (PMI) Januari-Desember 2018, PMI Indonesia di atas 50, yang menunjukkan ekspansi telah berjalan. Diharapkan, PMI Indonesia pada tahun ini akan sama nilainya.
PMI adalah indikator yang mengukur perkembangan sektor industri manufaktur dari sisi pembelian.
Imam menambahkan, untuk menyokong pertumbuhan berkelanjutan sektor manufaktur, pemerintah menerbitkan berbagai kebijakan, antara lain pengurangan pajak. (MED)