JAKARTA, KOMPAS — Masih terdapat ruang kosong dalam mekanisme kampanye calon anggota legislatif ataupun calon presiden dan wakil presiden di media sosial dalam Pemilu 2019. Rambu-rambu mengenai kampanye di medsos itu belum diatur secara detail sehingga tidak hanya pengawasan yang sulit dilakukan, tetapi juga pengendaliannya menjadi hampir mustahil dilakukan.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengatakan, selama ini memang ada kecenderungan dari caleg dan capres-cawapres untuk menggunakan medsos sebagai sarana kampanye. Sebagai sebuah fenomena baru, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengatur tentang akun pribadi masing-masing dari mereka agar didaftarkan kepada KPU. Pendaftaran itu dimaksudkan untuk memantau dan mendata akun-akun medsos dalam berbagai platform yang dimiliki oleh peserta pemilu, para caleg, dan kandidat presiden dan wakil presiden.
”Soal kampanye di medsos, itu memang merupakan bagian dari pengawasan kami. PKPU sudah mengatur setiap caleg diberikan hak membuat akun medsos untuk sarana kampanye, masing-masing 10. Kalau di Indonesia itu ada 15 platform medsos, berarti ada 150 akun yang dibuat,” kata Abhan.
Akan tetapi, selain platform yang tersedia, banyak dari caleg yang memiliki akun-akun lain yang tidak didaftarkan kepada KPU, berikut kemungkinan buzzer. Jumlah akun-akun yang tidak didaftarkan kepada KPU itu ternyata jauh lebih besar daripada akun yang terdaftar. Akibatnya, pengawasan terhadap kampanye atau publikasi akun-akun sulit dikontrol.
”Itu yang menjadi tantangan kami untuk mengawasinya,” kata Abhan.
Pengawasan secara umum dilakukan kepada akun-akun yang diduga melanggar aturan kampanye, misalnya menyebarkan berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah. Atas akun-akun tersebut, Bawaslu bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk melakukan tindakan berupa penutupan.
Namun, Abhan mengakui, sejauh ini pihaknya belum menerima laporan secara khusus mengenai pelanggaran kampanye di medsos melalui akun tertentu.
”Akun yang menyebarkan hoaks sudah banyak yang di-take down (ditutup). Tetapi akun-akun yang melakukan pelanggaran kampanye di medsos secara khusus kami belum menerima laporan,” katanya.
Tanpa batasan
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur kampanye di medsos. Adapun untuk kampanye di media arus utama, KPU telah memberi batasan dalam waktu 21 hari. Kampanye itu pun dibiayai oleh negara melalui KPU. Namun, ketentuan serupa tidak berlaku untuk kampanye di medsos.
”Di media sosial tidak ada batasan. Akun itu bisa kapan pun memublikasi pendapatnya karena tidak termasuk dalam kampanye media yang diatur oleh UU. Belum diatur sedetail itu untuk melakukan kampanye di medsos. Akun yang sudah didaftarkan itu langsung bisa berlaku sejak masa kampanye. Jadi, mereka boleh menggunakannya kecuali kalau mereka menyebarkan hoaks, baru kami tindak,” kata Arief.
Arief mengatakan, ada dua pendekatan yang dilakukan KPU menghadapi hoaks pemilu. Pertama ialah dengan meminta Kominfo untuk menutup akun. Kedua, kalau setelah diselidiki itu dikendalikan oleh orang-orang yang memiliki niat buruk, KPU bekerja sama dengan polisi untuk menindak orang tersebut.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz mengatakan, KPU seharusnya lebih jeli dalam melihat instrumen kampanye yang berkembang. Penetrasi internet dan medsos sudah menjadi fenomena global yang harus diantisipasi dengan regulasi khusus.
”Negara lain juga mengalami masalah yang sama. Banyak kegagapan untuk menghadapi atau menjaga sejauh mana dampak dari medsos itu. Apakah dia akan memengaruhi kualitas kompetisi caleg, itu belum bisa dibuktikan. Caleg di dapil (daerah pemilihan) di Jawa, kendati mendapatkan like dari temannya di Papua, itu tidak akan berpengaruh pada raihan suara karena perbedaan dapil. Tetapi, kalau tingkatnya nasional, seperti capres, medsos mungkin relevan,” kata August.