Kepemimpinan Indonesia Harus Terus Diwujudkan
JAKARTA, KOMPAS — Peran kepemimpinan Indonesia di kawasan regional dan global hendaknya terus diwujudkan. Indonesia harus terlibat aktif menjadi pemimpin dalam menyelesaikan persoalan yang kian dinamis.
Demikian antara lain benang merah pendapat Menteri Luar Negeri RI 2009-2014, Marty Natalegawa, saat mengunjungi Redaksi Kompas, Kamis (31/1/2019). Marty Natalegawa diterima oleh Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Mohammad Bakir dan sejumlah editor.
”Tradisi politik luar negeri Indonesia adalah kepemimpinan. Diplomasi Indonesia, apa pun bidangnya, levelnya, selalu transformatif, antisipatif, dan proaktif, menunjukkan kepemimpinan yang turut memengaruhi,” kata Marty.
Marty melanjutkan, di kawasan regional ASEAN, misalnya, Indonesia sudah diakui sebagai pemimpin. Indonesia mendapat kepercayaan dari sembilan anggota ASEAN lain untuk turut jadi pimpinan di kawasan.
Sekiranya ada persepsi kepemimpinan Indonesia di ASEAN dianggap kurang, itu tak lain karena ada harapan agar Indonesia bisa berbuat lebih di kawasan.
”Sebanyak 99,9 persen negara di ASEAN menyatakan, we need your leadership,” kata Marty, yang kini duduk di Dewan Penasihat Tingkat Tinggi untuk Mediasi Sekretaris Jenderal PBB.
Menurut Marty, sejak ASEAN dibentuk pada 1967, peranan Indonesia termasuk vital dalam blok Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara ini. Ia bercerita mengenai peran Indonesia dalam menginisiasi perdamaian antara Thailand dan Kamboja pada 2012.
Konflik antara Thailand dan Kamboja memanas sejak 2008. Menurut catatan Kompas, kedua negara itu mempermasalahkan wilayah seluas 4,6 kilometer persegi yang berada di sekitar Candi Preah Vihear.
Saat itu, menteri luar negeri kedua negara yang sedang bertikai diajak Marty ke sebuah ruangan tertutup. Dia menanyakan persepsi kedua belah pihak tentang perbatasan setiap negara.
”Kesabaran saya tidak ada batasnya. Kita tidak akan keluar dari ruangan ini sebelum ada keputusan. Keputusan ini akan menentukan apakah orang di luar akan sengsara atau baik,” kata Marty mengenang percakapan itu.
Marty menambahkan, Indonesia pun memahami adanya keterkaitan antara ekonomi, politik, dan sosial, di kawasan ASEAN. Pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Bali tahun 2003, dibentuklah ASEAN Community. Melalui deklarasi Bali Concord II, para pemimpin ASEAN sepakat bahwa ASEAN harus melangkah maju melalui tiga pilar, yaitu politik-keamanan ASEAN, ekonomi ASEAN, dan masyarakat sosial-budaya ASEAN.
Saat tahun 2002, kata Marty, Singapura hanya menawarkan pilar ekonomi saja. Indonesia merasa hal ini tidak cukup karena ketiga pilar yang disebutkan saling terkait. Dia mencontohkan tentang situasi Indonesia pada 1998. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia bermuara pada stabilitas politik.
”Kepemimpinan kita di ASEAN menunjukkan kepahaman kita tentang adanya keterkaitan antara ekonomi, politik-keamanan, dan sosial-budaya,” kata Marty.
Tantangan
Marty menambahkan, kawasan ASEAN saat ini seolah tidak lagi berada dalam satu semangat yang sama. Marty menyoroti tentang konflik etnis di Myanmar. ASEAN mengambil sikap yang sama terkait tragedi kemanusiaan yang terjadi di wilayah itu. Namun, ketika persoalan Myanmar diajukan ke Dewan Keamanan PBB, sikap anggota ASEAN terpecah.
”Sesuatu yang tadinya bisa dikelola di kawasan (ASEAN) sekarang menjadi bola liar di tingkat global,” kata Marty.
Dia melanjutkan, perbedaan di antara sesama anggota ASEAN bukanlah sesuatu yang aneh. ASEAN memang tidak berpretensi untuk memiliki satu pandangan terhadap politik luar negeri. Dari dulu, kata Marty, keberagaman orientasi politik luar negeri adalah fakta.
Namun, situasi akan berbahaya jika setiap perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang normal. ”Ini yang saya lihat saat ini. Perbedaan (ASEAN) dianggap lumrah, tidak ada lagi pihak yang mencoba menyatukan itu lagi,” katanya.
Di sisi lain, posisi Indonesia di tingkat global tak kalah menarik untuk dikaji. Indonesia tercatat sudah empat kali menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Terakhir, Indonesia ditetapkan menjadi anggota tidak tetap melalui sidang Majelis Umum PBB pada Jumat, 8 Juni 2018.
Menurut Marty, Indonesia bisa berinisiatif dalam membantu perdamaian Semenanjung Korea. Pertemuan pertama antara Amerika Serikat dan Korea Utara telah dilangsungkan pada 12 Juni 2018 di Singapura. Pada Februari 2019 akan dilanjutkan dengan pertemuan kedua.
”Saya tak bisa membayangkan negara lain selain Indonesia yang bisa membantu terwujudnya perdamaian di wilayah itu. Indonesia dekat dengan Korea Utara ataupun dengan Korea Selatan,” kata Marty.
Dihubungi secara terpisah, pengajar Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yunizar Adiputera, mengatakan, kiprah kepemimpinan Indonesia dapat dilacak sejak Indonesia merdeka. Pada 1955, misalnya, Indonesia bersama Myanmar, Sri Lanka, India, dan Pakistan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Pertemuan yang dihadiri oleh negara yang juga baru merdeka itu salah satunya bertujuan untuk bersatu melawan negara imperialis.
Sementara itu, Indonesia juga turut aktif mendorong demokratisasi di wilayah ASEAN. Indonesia pun turut menginisiasi upaya damai wilayah yang tengah berkonflik.
Namun, kata Yunizar, tantangan justru datang dari konflik di Laut China Selatan. Laut yang membentang dari Selat Karimata, Selat Malaka, hingga Selat Taiwan ini menjadi medan perang dua kekuatan, yakni AS dan China.
Yunizar mengatakan, ada potensi dua kekuatan ini saling bertabrakan di ASEAN. Beberapa negara anggota, seperti Filipina dan Singapura, cenderung lebih dekat ke AS, sementara China semakin mempercepat pengaruhnya di sekitar kawasan.
”Tantangannya adalah bagaimana Indonesia dan ASEAN beradaptasi dengan lingkungan global yang semakin dinamis,” katanya. (INSAN ALFAJRI)