Konsolidasi Perbankan Dibutuhkan untuk Penguatan
JAKARTA, KOMPAS - Industri perbankan Indonesia saat ini diramaikan oleh 115 bank. Jumlah itu dinilai terlalu banyak karena dapat memicu adanya persaingan tidak sehat. Karena itu perlu ada konsolidasi bank sebagai salah satu solusi untuk memperkokoh industri perbankan Indonesia.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada November 2018 mencatat, sebanyak 115 bank umum beroperasi di Indonesia, terdiri dari 101 bank konvensional dan 14 bank syariah. Dilihat berdasarkan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) atau modal inti, ada 18 bank BUKU I, 51 bank BUKU II, 27 bank BUKU III, dan 5 bank BUKU IV.
Bank berkategori BUKU I memiliki modal kurang dari Rp 1 triliun, BUKU II bermodal Rp 1 triliun-Rp 5 triliun, BUKU III memiliki modal Rp 5 triliun-Rp 30 triliun, serta BUKU IV bermodal lebih dari Rp 30 triliun.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, di Jakarta, Jumat (1/2/2019), mengatakan, jumlah bank terlalu banyak sedangkan target segmen pasar terbatas. “Ini menimbulkan ketidakseimbangan. Jumlah bank yang ideal di Indonesia sebaiknya di kisaran 25-30 bank saja,” tuturnya.
Piter melanjutkan, mempertimbangkan inklusi keuangan yang belum optimal, akses perbankan terhadap likuiditas secara umum masih terbatas. Jumlah bank yang terlalu banyak akan menimbulkan perebutan likuiditas yang mengakibatkan aliran likuiditas tidak merata di antara bank.
Masih merujuk data OJK, rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) BUKU I hingga IV secara berturut-turut adalah 83,47 persen, 89,97 persen, 101,53 persen, dan 89,01 persen. LDR rata-rata industri perbankan mencapai 93,19 persen. Adapun jumlah LDR aman yang ditetapkan sebesar 92 persen.
Peter menyampaikan, konsolidasi perbankan dibutuhkan bagi bank kecil, seperti BUKU I dan II. Keterbatasan modal membuat bank kecil selama ini sulit untuk berinvestasi dan berekspansi.
“Kalau bisa merger didorong lebih kencang, seperti konsolidasi tiga bank sekaligus. Jumlah bank yang ideal di Indonesia sebaiknya di kisaran 25-30 bank saja. Dengan begitu, laba bank bertambah dan dapat memperluas kapitalisasi pasar,” ujarnya.
Salah satu bank yang baru saja melakukan konsolidasi adalah peleburan PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) dan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) ke dalam BTPN. BTPN resmi beroperasi sebagai perusahaan hasil peleburan pada hari ini.
Peleburan terjadi karena Peraturan OJK Nomor 39/POJK.03/2017 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia menyebutkan, bank pemegang saham pengendali hanya diizinkan mengelola satu bank. Mengelola dua bank diizinkan selama memiliki prinsip pengelolaan berbeda, yakni konvensional dan syariah.
Dengan konsolidasi itu, perusahaan asal Jepang, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), memiliki saham 97,34 persen di BTPN.
Direktur Utama PT BTPN Tbk Ongki Wanadjati Dana mengatakan, dampak positif dari peleburan itu membuat BTPN masuk jajaran 10 bank dengan aset terbesar di Indonesia. Aset bertambah menjadi Rp 189,92 triliun per Desember 2018. Adapun modal perusahaan ikut bertumbuh menjadi Rp 27,81 triliun.
“Konsolidasi dilakukan untuk memperkuat pengembangan bisnis perusahaan di berbagai segmen dan daerah. Modal ikut bertumbuh sehingga perusahaan memiliki kemampuan pembiayaan yang lebih besar,” kata Ongki, dalam konferensi pers.
Peningkatan modal mendorong BTPN menargetkan untuk masuk kategori BUKU IV pada 2021. Modal dinilai sudah mendekati batas minimal untuk menjadi BUKU IV yang disyaratkan sebesar Rp 30 triliun.
Ongki melanjutkan, setelah menjadi bank BUKU IV, BTPN berminat untuk mendapat lisensi Qualified Asean Bank (QAB). QAB adalah bank terbaik di setiap negara dan akan mendapatkan konsesi dalam akses pasar dan perizinan operasional di ASEAN.
Bank asing
Bank asing lain yang sedang mengakuisisi saham bank dalam negeri adalah Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) Bank Ltd asal Jepang. MUFG Bank tengah berada dalam proses mengakuisisi 73,8 persen saham mayoritas PT Bank Danamon Indonesia Tbk.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/POJK.03/2016 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum, investor asing diperbolehkan memiliki lebih dari 40 persen saham, dengan catatan pemilik modal mengakuisisi dan melebur dua bank lokal.
MUFG Bank menargetkan kepemilikan 73,8 persen saham mayoritas Bank Danamon rampung tahun ini. Sejauh ini, proses akuisisi baru mencapai 40 persen. MUFG Bank sementara bersiap untuk menyelesaikan akuisisi tahap tiga pada tahun ini.
“MUFG Bank belum mengakuisisi 75 persen saham PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk dan 73,8 persen saham Bank Danamon Indonesia,” kata Corporate Communications, MUFG Bank, Kantor Cabang Jakarta, Matthew Hanzel ketika menanggapi pemberitaan Harian Kompas pada Rabu (23/1/2019), yang menuliskan MUFG Bank telah mengakuisisi saham mayoritas di kedua bank itu.
Adapun kepemilikan Bank Nusantara Parahyangan saat ini didominasi oleh anak usaha MUFG Group lainnya, yakni Acom Co Ltd, Japan, sebesar 67,59 persen. Sedangkan MUFG Bank baru menguasai 7,91 persen saham Bank Nusantara Parahyangan.
Dalam skenario peleburan Bank Danamon dan Bank Nusantara Parahyangan, MUFG Bank nantinya akan mengendalikan 72,78 persen saham. Adapun Acom masih menguasai 1,3 persen saham. Komposisi ini dapat berubah ketika pemegang saham minoritas atau publik melepas kepemilikan.
Piter menambahkan, peleburan bank asing dengan bank lokal diperlukan karena dapat mendorong peningkatan modal usaha bank lokal. Bank asing sebaiknya masuk melalui konsolidasi ketimbang datang bersaing ketika program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di sektor keuangan dimulai pada 2020.