Inspektur Jenderal Polisi Arman Depari, Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional bersemangat membantu sejumlah stafnya menyusun ribuan kilogram narkoba jenis sabu, ekstasi, dan ganja di halaman Kantor BNN, Jakarta Timur. Berbagai jenis narkoba itu merupakan barang bukti yang disita selama operasi gabungan dalam kurun waktu Januari tahun 2019.
Di hadapan Arman, telah berkumpul puluhan wartawan. Ada yang sekadar mengambil gambar, ada juga yang bersiap dengan kamera, notes, dan gawai di tangan masing-masing, untuk mendengar, mencatat, dan merekam asal-usul barang haram itu didapatkan. Di sisi kanan Arman, berjejer sekitar delapan orang tahanan berpakaian orange, pakaian khas tahanan BNN.
"Untuk mengetahui detil kasus ini, kita tunggu kehadiran Bapak Ketua BNN Komisaris Jenderal Heru Winarko," kata Arman kepada wartawan, pagi itu, Jumat (1/2/2019).
Heru Winarko kemudian menjelaskan kronologis terungkapnya berbagai jenis narkotika itu. Penjelasan Heru dimulai dari narkoba jenis ganja seberat 1,4 ton yang diselundupkan dari Aceh.
Untuk mengelabui petugas, ganja itu dikirim melalu jalur darat dan udara (via kargo). Bagi wartawan, penyelundupan melalui kargo merupakan modus lama yang selama ini jadi andalan para pelaku. Namun, perhatian wartawan tertuju pada pengiriman darat menggunakan mobil box.
Mobil itu sejatinya merupakan mobil yang dikamuflase sebagai reefer truck atau truk pendingin untuk memuat bahan tertentu yang rentan rusak atau busuk. Petugas yang telah mengantongi informasi dari masyarakat tentang kemungkinan berisi narkotika, mencegat pengemudi berinisial BS.
Saat itu, BS telah bersiap untuk kabur dengan meninggalkan mobil box itu dan menitipkan kunci mobil pada tukang parkir, di Baranangsiang, Bogor, Jawa Barat, Rabu (30/1/2019).
Melalui penggeledahan dengan melibatkan unit K9 atau anjing pelacak narkotika, ditemukan ratusan bungkusan ganja yang disembunyikan dalam kompartemen khusus di dasar truk. Kompartemen berisi ganja itu ditutup dengan plat besi.
"Jika dilihat sepintas, tidak akan ketahuan kalau ada narkoba yang disembunyikan di dalam," kata Heru.
Petugas terus mengembangkan kasus itu, hingga di hari yang sama, kembali ditemukan ganja di kargo Bandara Soekarno-Hatta. Dua tersangka inisial IM dan SP kembali ditangkap. Adapun SP merupakan warga binaan di Rutan Kebon Waru, Bandung. Dia diduga kuat sebagai pengendali dari jaringan ini.
Masih dari kasus yang sama, keesokan harinya, petugas kembali menangkap AS dan AB di daerah Sarua, Depok. Mereka diketahui mengambil ganja yang sama di kargo Bandara Soekarno-Hatta satu hari sebelumnya.
Heru kemudian melanjutkan penjelasan narkoba jenis lain yang berhasil digagalkan di perairan Aceh Utara, 10 Januari 2019. Narkoba yang digagalkan itu merupakan narkotika jenis pil ekstasi berjumlah 10.000 butir dan sabu seberat 73, 949 kilogram.
Pelaku yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka berjumlah lima orang dengan inisial SB, MZU, MZA, ME, dan Arbi alias LI. Lagi-lagi Arbi merupakan narapidana yang tengah menjalani masa bimbingan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara.
Tak berhenti di situ, pada 24 Januari 2019, petugas kembali menggrebek sebuah rumah yang dijadikan pabrik ekstasi di Medan, Sumatera Utara. Dari penggeledahan, petugas mengamankan 300 butir ekstasi baru dengan kandungan Paramethoxinmethamphetamine (PMMA).
Petugas pun mengamankan tiga orang tersangka G, I, dan R. Ketiga tersangka ini juga mendapat pasokan bahan untuk memproduksi narkotika dari orang yang sama, Arbi, yang masih berada di dalam Lapas Tanjung Gusta.
Pengawasan lemah
Setelah merasa cukup menjelaskan kronologis penemuan ribuan kilogram barang haram itu, Heru menyerahkan pengeras suara ke tangan Arman. Arman dengan semangat menjelaskan kandungan baru di dalam 300 butir ekstasi itu. Ia juga dengan sabar melayani berbagai pertanyaan wartawan saat acara konfrensi pers selesai.
Namun, ketika melayani pertanyaan wartawan tentang maraknya peredaran narkoba yang dikendalikan dari balik lapas, Arman kesal, nada suaranya berubah.
"Peredaran narkoba di Indonesia masih didominasi oleh orang-orang yang berada di dalam tahanan dalam status narapidana. Kami hanya mengawasi peredaran narkoba di luar," kata Arman.
Maraknya peredaran narkoba yang dikendalikan napi dari dalam lapas disimpulkan Arman, kalau pengawasan di Lapas lemah, bahkan mungkin tanpa pengawasan sama sekali atau justru dibiarkan. Ia juga tidak bisa merinci kemungkinan ada kerja sama dengan pihak Lapas karena pelaku memilih bungkam.
"Kalau kerja sama (dengan Lapas) setiap hari. Tetapi kalau hanya omong doang. Kami melakukan operasi seperti ini berbulan-bulan," ujarnya.
Operasi itu tidak hanya menyita waktu dan tenaga, tetapi juga berisiko terhadap keselamatan anggota BNN, aparat kepolisian, TNI AL, dan petugas Bea Cukai. Setelah ditangkap dan dikurung, kebebasan pelaku untuk menyelundupkan dan mengedarkan narkoba semestinya berakhir.
"Kalau tidak berati mereka (petugas lapas) tidak menghargai apa yang dilakukan anggota kami di lapangan. Percuma kita menangkap orang, tetapi dia masih bebas mengendalikan narkoba dari dalam penjara," ujar Arman. (STEFANUS ATO)