JAKARTA, KOMPAS – Calon Wakil Presiden Nomor Urut 01 Ma’ruf Amin menyoroti pentingnya memperkuat sendi-sendi penopang ekonomi kerakyatan. Salah satu caranya, melalui menggalakkan pemberdayaan koperasi sebagai motor dan tulang punggung ekonomi kerakyatan.
Menurut mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu, harus ada perubahan signifikan yang fundamental dalam membangun ekonomi dari bawah atau yang lebih dikenal dengan istilah ekonomi kerakyatan. Ajaran itu sebenarnya sudah termaktub dalam sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi praktiknya semakin kabur.
“Dalam ajaran Islam, ada petunjuk yang berbunyi, angka jangan berputar di kalangan orang kaya saja, tetapi harus terdistribusi sampai ke seluruh masyarakat, supaya semua memperoleh kebaikan di masalah ekonomi, keadilan dalam hal politik,” ucap Ma’ruf saat memberi kata sambutan di acara peluncuran buku ‘The Ma’ruf Amin Way: Keadilan, Keumatan, Kedaulatan’, yang ditulis oleh Sahala Panggabean dan Anwar Abbas, di Jakarta, Jumat (1/2/2019) pagi.
Untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan, pertama-tama harus ada kemauan dari semua lapisan untuk memacu diri menjadi usahawan di berbagai bidang. Di kalangan para santri, ujar Ma’ruf, saat ini didorong program santripreneur atau wirausaha santri.
“Di kalangan santri sekarang ada istilah membangun Gus Iwan: santri bagus, pinter ngaji, usahawan. Semua masyarakat kami imbau supaya ada kemauan,” ujarnya.
Regulasi dibutuhkan
Seiring dengan itu, dibutuhkan regulasi yang kuat dari pemerintah untuk membangun dan menopang geliat ekonomi kerakyatan tersebut. Salah satunya, melalui menggalakkan gerakan koperasi. Itu diharapkan menjadi motor utama penggerak ekonomi kerakyatan sebagai tulang punggung ekonomi nasional.
"Saya harap siapapun yang menang nanti dan terpilih sebagai Presiden, bisa terus menjalankan konsep ini,” kata Ma’ruf.
Berdasarkan hasil riset lembaga ekonomi global seperti McKinsey, Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara besar. McKinsey memperkirakan Indonesia akan menjadi negara dengan GDP terbesar ketujuh di dunia pada 2030. Dengan potensi kue ekonomi yang besar ini, ujarnya, dunia usaha tidak bisa hanya dikuasai segelintir orang dan menafikan asas keadilan, demokrasi ekonomi, dan kemandirian usaha rakyat.
“Saya ini bukan ahli ekonomi, saya kyai, jadi spesifikasi saya itu syari’ah dan urusan pengajian. Tetapi saya memang ikut prihatin di dalam menanggapi atau menyikapi masalah-masalah ekonomi,” kata Ma’ruf.
Ma’ruf mengatakan, situasi ekonomi yang ada saat ini adalah buah kebijakan masa lalu yang gagal mencapai tujuan yang disasar. Kebijakan membangun ekonomi kuat dan konglomerasi pada masa lalu, menurutnya, sebenarnya bertujuan mendatangkan trickle down effect. Dengan kata lain, budaya konglomerasi yang dibangun dulu diharapkan bisa berdampak pada kondisi ekonomi kelas bawah. Namun, tujuan itu tidak tercapai.
“Harapannya, lahir konglomerat yang kemudian ‘menetes’ ke bawah. Tetapi, ternyata tidak netes-netes. Yang atas semakin kuat, yang bawah semakin lemah,” katanya.