Jelang Pemilu 2019, polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat semakin kentara. Relasi sosial menjadi memanas akibat perbedaan pilihan calon presiden. Di sisi lain, korupsi yang dilakukan kepala daerah hasil pemilu (elected officials) terus terjadi. Para bekas koruptor juga kembali mencalonkan diri dan dicalonkan oleh partai politik untuk menjadi wakil rakyat. Benarkah politik Indonesia berada di titik nadir?
Kepercayaan publik terhadap pejabat publik ada di tingkat yang rendah. Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 5-6 Desember 2018, melibatkan 646 responden di 16 kota besar di Indonesia, hanya 46 persen responden menyatakan masih percaya kepada lembaga legislatif. Di sisi lain, mayoritas responden juga menyatakan ketidakpercayaan terhadap parpol dan tokoh-tokohnya. Salah satu penyebabnya ialah kasus korupsi.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak pembentukan lembaga antirasuah itu pada tahun 2004 hingga kini, sudah lebih dari seratus kepala daerah terkena kasus korupsi. Jumlah anggota legislatif yang ditangkap KPK karena kasus korupsi juga mencapai lebih dari 200 orang. Sementara itu, beberapa hari lalu, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan ada 49 mantan narapidana kasus korupsi yang menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2019.
Sebagai tambahan potret buram dari demokrasi saat ini, perselisihan pendapat yang terjadi pada masa kampanye jelang Pemilu 2019 pun sudah akut. Penggunaan sentimen politik identitas, saling serang antarpendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di media sosial, sudah sedemikian mengganggu fondasi kohesi sosial bangsa Indonesia.
Figur perseorangan
Sistem politik Indonesia saat ini dinilai terlalu menitikberatkan pada figur-figur individu. Parpol yang seharusnya menjadi determinan dalam sistem politik Indonesia malah terbawa arus tersebut. Polarisasi antarpendukung capres yang terjadi pada masa kampanye Pemilu 2019 juga merupakan dampak kondisi ini.
Menurut Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo, polarisasi ini berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang begitu terobsesi pada figur pemimpin, dalam hal ini presiden. Kekuasaan dianggap masyarakat lebih erat berhubungan dengan sosok presiden dibandingkan dengan parpol.
Menurut dia, figur pemimpin menjadi hal yang sangat dicari karena masyarakat Indonesia menganggap pemimpinlah yang menentukan nasib. Di sisi lain, pemimpin juga dibutuhkan untuk dijadikan sebagai pihak yang bisa dipersalahkan apabila muncul kekecewaan.
”Pada dasarnya, kita seperti masyarakat kesultanan. Dalam pendidikan kita, belum terbangun kemandirian dalam mengambil keputusan,” kata Agus dalam dialog ”Satu Meja The Forum” di Kompas TV, Rabu (30/1/2019).
Diskusi yang mengangkat tema ”Politik di Titik Nadir?” itu dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Selain Agus, hadir pula sebagai narasumber, analis politik President University, Muhammad AS Hikam; pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar Pabottingi; dan pengamat hubungan internasional Universitas Binus, Dinna Wisnu; serta anggota tim sukses Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Arif Budimanta; dan anggota tim sukses Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Sudirman Said.
Kegagalan parpol
Kondisi politik yang buruk, menurut Hikam, juga disebabkan parpol gagal dalam menginstitusionalisasikan dirinya di tengah masyarakat. Parpol gagal menjadi lembaga politik yang dapat menjadi saluran bagi warga negara untuk mengartikulasikan aspirasi. Hikam menilai, kegagalan institusionalisasi parpol berawal pada penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka.
Arif yang berpandangan sama menyampaikan, sistem pemilu legislatif yang menggunakan sistem proporsional terbuka berkontribusi besar dalam menciptakan sistem perekrutan politik yang mengutamakan popularitas, bukan kompetensi. ”Padahal, partai politik adalah ’kawah candradimuka’ untuk menelurkan kandidat-kandidat kepemimpinan bangsa,” kata Arif.
Sudirman juga menganggap proses politik Indonesia memang mengalami kemunduran. Politik Indonesia saat ini sudah sangat membelah. Ia mencontohkan, dulu, tiga murid HOS Cokroaminoto, yakni Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo, tetap bersahabat meski memiliki arah politik yang berbeda.
”Mereka tetap berdiskusi bersama, membaca buku, menulis. Proses pendidikan ini yang hilang. Sekarang, betapa popularitas menjadi segala-galanya. Akhirnya orang masuk ke politik melalui proses yang instan,” kata Sudirman.
Hikam mengatakan, apabila tidak ada reformasi secara menyeluruh, parpol akan semakin bersifat oligarkis. ”Yang bisa masuk ke parlemen hanyalah orang-orang yang kaya atau populer,” ujar Hikam.
Di sisi lain, Dinna menilai, sistem proporsional terbuka tidak dapat serta-merta disalahkan. Sistem proporsional terbuka dipilih untuk mencegah terjadinya oligarki partai. Sistem proporsional terbuka dibutuhkan saat ini ketika parpol di Indonesia tidak memiliki platform kebijakan yang menjadi identitas.
Sementara itu, Mochtar menyampaikan ada kecenderungan parpol hanya dimaknai sebagai cara mendapatkan kekuasaan. Karena politik menjadi arena bagi para oportunis, berbagai cara bisa digunakan, termasuk menggunakan politik kebencian. Padahal, Mochtar mengingatkan kekuasaan yang diraih dengan menggunakan kebencian tidak dapat bertahan lama.
Dengan mosaik peringatan itu, sudah seyogianya para elite parpol mulai mereformasi diri. Demi kebaikan bersama bangsa.