JAKARTA, KOMPAS – Partai politik yang calon anggota legislatifnya teridentifikasi berstatus mantan terpidana kasus korupsi menyerahkan urusan sosialisasi mengenai statusnya tersebut kepada caleg yang bersangkutan serta Komisi Pemilihan Umum. Partai berdalih tidak bisa mencegah dan melakukan tindakan apa-apa setelah KPU mengumumkan daftar caleg berstatus eks terpidana korupsi itu ke publik.
Partai Golkar memiliki jumlah caleg eks terpidana korupsi paling banyak dibanding partai lainnya, yakni sebanyak delapan orang. Mereka adalah Hamid Usman (Maluku Utara), Heri Baelanu (Kabupaten Pandeglang), Dede Widarso (Kabupaten Pandeglang), Saiful T Lami (Kabupaten Tojo Una-Una), Desy Yusandi (Banten), Agus Mulyadi R (Banten), Edy Mukjlison (Kabupaten Blitar), dan Petrus Nauw (Papua Barat)
Partai lainnya adalah Gerindra, Hanura, Demokrat, Partai Amanat Nasional, Berkarya, Garuda, Perindo, PDI-Perjuangan, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan Bintang.
Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Muhammad Zainul Majdi (TGB) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/1/2019) beralasan, pihak DPP sejak awal tidak bisa mengintervensi proses pencalonan caleg di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hal itu merupakan wewenang pengurus daerah. Ia pun menyerahkan tindakan selanjutnya terkait nama-nama caleg bermasalah itu pada pengurus daerah.
Ia juga merasa pengurus pusat partai tidak perlu memberikan imbauan apapun ke pengurus daerah untuk menanggapi daftar caleg berstatus eks napi korupsi itu. Keputusan sekarang ada di tangan pemilih di daerah pemilihan (dapil) bersangkutan untuk memilih atau tidak memilih caleg bermasalah.
“Saya pikir tergantung tingkatan partai yang terkait. Pasti akan ada langkah yang diambil oleh struktur partai di tingkatan masing-masing,” kata TGB.
Hal senada juga disampaikan Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, yang partainya mencalonkan enam orang mantan napi korupsi. Mereka adalah M. Taufik (DPRD Provinsi DKI Jakarta), Herry Jones Johny Kereh (Sulawesi Utara), Husen Kausaha (Maluku Utara), Al Hajar Syahyan (Kabupaten Tanggamus), Ferizal (Kabupaten Belitung Timur), dan Mirhammudin (Kabupaten Belitung Timur).
Menurut dia, keputusan mencalonkan eks terpidana korupsi adalah kewenangan pengurus daerah. DPP Partai Gerindra tidak bisa mengawasi proses pencalonan di daerah. Sehingga, dicalonkannya mantan terpidana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota ada di luar pengetahuan pengurus pusat.
“Sekarang, urusan dengan partai sudah selesai, dengan KPU juga sudah, sekarang kami tinggal menyerahkan pada masyarakat untuk menentukan pilihan terbaik,” ujar Riza.
Sosialisasi terkait status caleg, menurutnya, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengharuskan caleg mengumumkan di media massa. Selain itu, KPU juga berencana mengumumkan nama-nama tersebut di tempat pemungutan suara.
“Jadi, tidak perlu lagi dari partai ikut mengimbau. Kalau yang bersangkutan dipilih kembali, berarti masyarakat menganggap dia mampu dan tidak bermasalah dengan status hukumnya,” kata Riza.
Tak bisa intervensi
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hanafi mengatakan, DPP PAN sebenarnya mengetahui proses pencalonan di tingkat daerah, termasuk rincian orang-orang yang maju sebagai caleg di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Itu karena proses pencalonan di daerah juga melalui diskusi panjang dengan pengurus pusat.
Namun, DPP tidak bisa mengintervensi proses pencalonan di tingkat daerah. Keputusan akhir tetap di tangan pimpinan pengurus daerah. Akibatnya, masih ada empat orang caleg dari PAN yang berstatus eks terpidana korupsi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Mereka adalah Abdul Fattah dari Provinsi Jambi, Masri dari Kab. Belitung Timur, Muhamas Afrizal dari Kab. Lingga, dan Bahri Syamsu Arief dari Kota Cilegon.
“Kami di DPP menaati proses otonomi pada pengurus daerah masing-masing untuk pencalonan pemilu ini. Selama ini, toh, melalui diskusi panjang dulu. Kami tidak ingin posisi DPP ini terlalu berlebihan,” kata Hanafi.
Adapun untuk proses selanjutnya diserahkan partai pada KPU dan caleg bersangkutan untuk menyosialisasikan statusnya ke masyarakat di masing-masing daerah.
“Silakan caleg melakukan kampanye secara jujur dan KPU mengadakan sosialisasi. Biarkan demokrasi berjalan natural, itu saja prinsip kami. Tinggal pemilih yang nanti menentukan sendiri mau memilih atau tidak,” ujarnya.
Kendati demikian, menurut Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani, pengurus pusat sebenarnya bisa secara konkrit mengawasi dan memerintahkan pengurus daerah untuk mencoret caleg yang bermasalah dan berstatus mantan terpidana korupsi.
Di PPP, misalnya, pengurus pusat sempat memerintahkan pengurus daerah untuk mencoret caleg DPRD yang diidentifikasi mantan terpidana korupsi. Sekarang tidak ada caleg dari PPP yang berstatus eks napi korupsi.
"Kalau tidak salah, waktu itu di Sulawesi Tenggara. Tinggal kami perintahkan coret, meski yang tanda tangan memang bukan kami," kata Arsul.