Pembebasan Lahan Depo LRT Bekasi Dianggap Kurang Transparan
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS – Warga Kampung Jati Terbit, Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, meminta kejelasan informasi terkait pembebasan lahan untuk pembangunan depo kereta ringan. Informasi luas lahan dan jumlah warga yang terdampak pembangunan depo kereta ringan di wilayah itu belum disampaikan secara komprehensif.
Pengoperasian kereta ringan (LRT) lintasan Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dinyatakan mundur 22 bulan dari target pada akhir 2019. Proyek strategis nasional itu diklaim terkendala pembebasan lahan untuk pembangunan depo yang masih alot.
Pembangunan depo berlokasi di Kampung Jati Terbit, Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Kampung itu berada di tepi Kalimalang.
“Kami tidak ingin menghambat proyek negara, hanya saja ada mekanisme yang kami rasa tidak dilakukan dalam prosedur pembebasan lahan untuk proyek strategis nasional,” kata Ketua Forum Komunikasi Kampung Jati Terbit Sondi Silalahi di Bekasi, Jumat (1/2/2019).
Menurut Sondi, tidak ada konsultasi publik sebelum sosialisasi pembebasan lahan. Sosialisasi dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi dan Kementerian Perhubungan pada Januari 2018, saat itu diumumkan bahwa warga di RW 06, 07, dan 08, Jatimulya, Tambun Selatan akan digusur. Akan tetapi, penjelasan mengenai luas depo serta jadwal pengerjaan tidak mereka dapatkan.
Sondi menambahkan, dalam situasi demikian, para petugas tetap mengukur tanah. Pendataan juga dilakukan terhadap sejumlah warga yang bersedia. Sementara itu, masih ada sebagian warga yang tak bersedia tanahnya diukur karena merasa belum ada kejelasan dari pemerintah.
“Untuk mendapatkan penjelasan mengenai luas lahan yang akan dibebaskan, kami perlu berdemonstrasi ke kantor BPN Kabupaten Bekasi pada Oktober 2018,” kata Sondi.
Menanggapi demonstrasi tersebut, BPN Kabupaten Bekasi menerbitkan surat penjelasan tertanggal 22 Oktober 2018. Dalam surat itu dijelaskan, luas lahan yang akan digunakan untuk pembangunan depo adalah 105.000 meter persegi atau 10,5 hektare (ha). Keputusan luas lahan didasarkan pada Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 593/kip.912.Pemksm/2017 Tanggal 29 September 2017 tentang Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan LRT Jabodebek Tahap I.
Selain itu, terdapat surat dari Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat tanggal 30 Mei 2018 Nomor 593/2454-Pemksm sesuai dengan yang tercantum dalam lampiran Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 593/kip.912.Pemksm/2017 Tanggal 29 September 2017.
Menurut Sondi, warga setempat berhak mendapatkan penjelasan. Meski status tanah di ketiga RW itu merupakan tanah status quo atau milik negara, tetapi mereka memiliki surat keterangan dari kepala desa sejak 1993. Berdasarkan surat keterangan kepala desa itu, mereka diberikan izin untuk tinggal dan berkewajiban membayar pajak bumi dan bangunan (PBB).
Selain itu, terdapat kejanggalan pada status tanah. “Semestinya tidak ada proses apapun terhadap tanah status quo yang akan dibangun proyek negara. Namun, beberapa waktu lalu muncul Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT Adhi Persada Properti di wilayah RW 06,” ujar Sondi.
Oleh karena itu, kata Sondi, penjelasan dari pemerintah amat dibutuhkan. Sebab, informasi yang tidak komprehensif juga berpotensi memunculkan ketegangan di lingkup masyarakat.
“Kami pernah menggaransi kepada Kepala BPN Kabupaten Bekasi bahwa pengukuran dan pembebasan lahan bisa selesai dalam dua hari saja, jika kami sudah mendapatkan penjelasan dari pihak yang berwenang,” kata Sondi.
Sementara itu, Kepala BPN Kabupaten Bekasi Deni Santo belum bisa dimintai konfirmasi.
Pembayaran
Kekurangan informasi juga dirasakan oleh Lurah Jatimulya Charles Mardianus. Menurut Charles yang baru menjabat pada Mei 2018, tidak pernah ada koordinasi mengenai agenda terkait pembebasan lahan dengan kelurahan. Contohnya, pertemuan dan pembayaran pembebasan lahan selalu dilakukan di kantor kelurahan.
“Namun, kami tidak pernah diberi undangan. Undangan disampaikan langsung kepada warga,” kata Charles.
Rombongan warga pun tidak bisa dicegah karena terlanjur datang ke sana.
Ia mengatakan, pertemuan untuk pembayaran lahan sudah tiga kali dilakukan. “Pembayaran terakhir dilakukan pada Kamis (31/1).
"Kemarin ada 18 orang yang diundang pihak kementerian, tetapi hanya 11 orang yang datang dan menerima pembayaran,” kata Charles.
Menurut Charles, sejumlah warga menolak pengukuran dan pembayaran karena tidak sepakat pada harga yang ditetapkan pemerintah.
Adapun pembayaran tahap pertama dan kedua berlangsung pada 2018. Namun, ia tidak bisa memastikan berapa total jumlah warga yang menerima pembayaran. Sebab, pihak kelurahan tidak pernah mendapatkan salinan dokumen baik dari BPN Kabupaten Bekasi maupun Kementerian Perhubungan.
Selain itu, permintaan kelurahan atas jadwal dan tahapan pembebasan lahan juga tidak pernah digubris. “Sosialisasi mengenai proses pembebasan lahan ini memang kurang,” ujarnya.