Pemberitaan persidangan cukup mengangkat fakta yang muncul di persidangan. Pemberitan tidak perlu mengambil opini dari pihak luar seperti yang kerap terjadi selama ini. Pasalnya, jika itu dilakukan, dapat menggiring opini publik. Selain itu, bisa mengganggu independensi hakim.
Oleh
A Ponco Anggoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemberitaan persidangan cukup mengangkat fakta yang muncul di persidangan. Pemberitan tidak perlu mengambil opini dari pihak luar seperti yang kerap terjadi selama ini. Pasalnya, jika itu dilakukan, dapat menggiring opini publik. Selain itu, bisa mengganggu independensi hakim.
Ini menjadi salah satu yang mengemuka saat diskusi bertajuk "Mahkamah Agung Outlook 2019: Persepsi dan Harapan", di Jakarta, Jumat (1/2/2019).
Hadir sebagai pembicara, Juru bicara Mahkamah Agung (MA), Hakim Agung Andi Samsan Nganro, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah, Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo, dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Tri Agung Kristanto.
Andi mengatakan MA membutuhkan pers agar fungsi dan wewenang MA semakin dikenal publik. Selain itu, pers juga dibutuhkan untuk mengawal kinerja MA agar MA dapat semakin dipercaya publik.
“Untuk menjadi lembaga yang dapat dipercaya oleh masyarakat, hubungan MA tentu tidak bisa lepas dari peranan pers,” kata Andi.
Namun di sisi lain, MA berharap agar pers juga membenahi diri. Ini terutama dalam pemberitaan persidangan. Pemberitaan diharapkannya cukup mengangkat fakta-fakta yang ada di persidangan, dan tidak menambahkannya dengan opini dari pihak luar. Ini penting karena pemberitaan yang tidak sesuai fakta jika disebarluaskan dapat menggiring opini publik.
Opera sabun
Stanley melihat gaya peliputan dunia peradilan saat ini seperti opera sabun.
Sebagai contoh, saat persidangan Jessica Wongso, terpidana pembunuh Wayan Mirna Salihin dengan racun sianida yang dimasukkan ke dalam kopi, Tahun 2016.
Media televisi kala itu, bahkan membuat studio mini di pengadilan. Media juga mengundang beberapa ahli psikologi dan pakar pengamat gestur serta ekspresi untuk mengomentari jalannya persidangan. Gaya media tersebut, telah menggiring opini publik dan berpotensi mempengaruhi proses peradilan.
“Kan orang-orang yang bergerak di bidang hukum juga menonton itu. Apakah para hakim yang menyidangkan tidak menonton siaran ulangnya? Ini bagian dari hal-hal yang berbahaya karena mempengaruhi protes putusan pengadilan,” tegasnya.
Apalagi kala itu, media sempat mengundang pengacara dan jaksa sebagai narasumber. Mereka berdebat di studio mini yang seharusnya perdebatan itu cukup di pengadilan.
“Jurnalisme kita sudah menjadikan bagian dari orang-orang yang seharusnya mengawal proses pencarian kebenaran di pengadilan menjadi masuk ke dalam opera sabun,” kata Stanley.
“Kalau meliput peradilan yang diliput adalah proses peradilannya, bukan di luar itu. Kita harus menghormati proses hukum,” tambahnya.
Transparan
Sementara itu, Tri Agung Kristanto mendorong MA agar memperluas komunikasi dan penyebaran informasi ke masyarakat dengan memanfaatkan media sosial. "Ini terutama untuk mengabarkan mengenai apa yang lembaga ini lakukan dan ingin dikembangkan," katanya.
Jika ini tidak kunjung dilakukan, akan memperlebar jarak antara MA dan masyarakat, khususnya di kalangan anak muda. "Berapa anak muda yang ingin menjadi hakim? Bagaimana MA menjangkau mereka?" ujarnya.
Stanley mendukung pernyataan Tri Agung. “Hal yang seharusnya diperkuat oleh MA adalah membagikan informasi secepat mungkin, misalnya, website dan cuplikan streaming untuk keputusan-keputusan penting yang menjadi perhatian publik,” tambahnya.
Reformasi birokrasi di MA
Berdasarkan catatan Kompas, sejak 2015, MA telah mencanangkan reformasi birokrasi dalam peta jalan atau roadmap Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung 2015-2019. Di dalam roadmap tersebut, terdapat enam program unggulan yang akan diwujudkan sampai tahun 2019. Program unggulan keenam yang dilakukan MA adalah peningkatan pelayanan publik.
Empat tahun dijalankan, pelaksanaan roadmap masih harus ditingkatkan. Apresiasi terhadap keterbukaan informasi dan pelayanan publik pun masih minim dalam kurun waktu roadmap dicanangkan.
Salah satu apresiasi dan pengakuan terhadap pelayanan publik lembaga negara dibuat oleh Komisi Informasi . Komisi tersebut membuat pemeringkatan terhadap lembaga-lembaga negara yang paling informatif. Pada periode 2015-2018, Mahkamah Agung belum pernah masuk dalam nominasi yang dibuat oleh Komisi Informasi.
Hal itu berbeda dengan “rekannya” di bidang yudikatif, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi yang didirikan belakangan. Dalam empat tahun terakhir, kedua lembaga tersebut teratur masuk dalam nominasi dan penghargaan 10 lembaga negara paling informatif.
Menyongsong berakhirnya roadmap, Mahkamah Agung dituntut bekerja lebih keras dalam mewujudkannya di tahun 2019. Bukan hanya program pelayanan publik yang lebih informatif yang perlu ditingkatkan, masih ada lima program lain yang lebih penting untuk diwujudkan.
Terutama program unggulan pertama, yakni revolusi mental, mengubah mental perilaku aparatur di MA. Hal tersebut akan menjadi lebih berat mengingat dalam kurun waktu 2015-2018, KPK masih menangani 8 hakim terlibat tindak pindana korupsi. (MELATI MEWANGI/MAHATMA CHRYSNA)