Perlindungan Perempuan Membaik
Upaya perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan semakin baik. Meskipun begitu, kekerasan dan diskriminasi masih menimpa banyak perempuan.
JAKARTA, KOMPAS – Selama dua dekade sejak reformasi berlangsung di Indonesia, ada banyak kemajuan yang dicapai dalam upaya perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan. Kemajuan itu, antara lain, dalam bentuk kebijakan yang kondusif, khususnya kebijakan tentang layanan terhadap perempuan korban kekerasan.
Pada 2018, misalnya, ada enam pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan daerah untuk perlindungan perempuan dan anak, yaitu tentang rumah aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Enam daerah itu adalah Kabupaten Cirebon (Jawa Barat), Pandeglang (Banten), Sikka (Nusa tenggara Timur), Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Provinsi Sumatera Selatan, dan DKI Jakarta.
Demikian Laporan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2018 berjudul ”Memperluas Dukungan Publik, Membuka Akses Korban pada Keadilan”. Laporan tahunan ini diluncurkan dalam forum Konsultasi Publik Tahun 2019 di Jakarta, Kamis (31/1/2019).
”Komnas Perempuan juga mengapresiasi langkah pemerintah dalam menindaklanjuti rekomendasi Komnas Perempuan untuk membatalkan revisi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Begitu juga dengan langkah penguatan yang terkait dukungan bantuan sosial bagi perempuan lanjut usia korban kekerasan dan pelanggaran HAM melalui skema program bantuan sosial bagi lansia miskin dan telantar,” kata komisioner Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, ketika membacakan Laporan Tahunan Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan juga mengapresiasi langkah pemerintah dalam menindaklanjuti rekomendasi Komnas Perempuan untuk membatalkan revisi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Diskriminasi
Meskipun ada kemajuan yang diraih selama dua dekade semenjak reformasi berlangsung di Indonesia, situasi dan kondisi perempuan masih diwarnai persoalan kekerasan dan diskriminasi. Beragam kasus politisasi identitas, intoleransi, radikalisme, serta penyesatan dan penodaan agama yang menyasar perempuan terjadi berulang-ulang pada tahun 2018.
Kekerasan terhadap perempuan meningkat seiring dengan munculnya kondisi tersebut, yang diekspresikan secara terbuka, dan semua berdampak pada kekerasan terhadap perempuan. Laporan tersebut menyebutkan, pada titik tertentu, situasi sekarang adalah akumulasi dari pembiaran negara sejak 20 tahun lalu, semenjak Komnas Perempuan berdiri.
Dampak tersebut terlihat antara lain dengan meningkatnya keputusan/peraturan yang diskriminatif. Apabila tahun 2010 Komnas Perempuan mendokumentasi 159 keputusan/peraturan yang diskriminatif, tahun 2018 jumlahnya meningkat menjadi 421 yang tersebar di 34 provinsi dan menyasar langsung maupun tidak langsung kepada perempuan.
Apabila tahun 2010 Komnas Perempuan mendokumentasi 159 keputusan/peraturan yang diskriminatif, tahun 2018 jumlahnya meningkat menjadi 421 keputusan/peraturan.
“Catatan tahunan 2018 menggambarkan bagaimana pengaduan yang diterima baik Komnas Perempuan maupun lembaga pendamping korban mengalami peningkatan sejumlah 348.446 kasus, dari 259.150 pada tahun sebelumnya,” ujar Azriana, Ketua Komnas Perempuan.
Di antara jenis kekerasan tersebut ada beberapa bentuk kekerasan yang belum ada mekanisme perlindungan dari negara dan sulit bagi korban untuk mengakses keadilan, antara lain kekerasan di dunia maya, berbagai jenis kekerasan seksual, termasuk kompleksitas isu kekerasan dalam rumah tangga, dan kriminalisasi korban, bahkan isu femisida yang belum dikenali.
Gambaran besar mengenai potret perlindungan dan pemenuhan HAM perempuan di Indonesia, pasca 20 tahun reformasi dirangkum Komnas Perempuan dalam Laporan Tahunan 2018 berjudul “Memperluas Dukungan Publik, Membuka Akses Korban pada Keadilan” yang dipaparkan Komisioner Komnas Perempuan Budi Wahyuni dan Iman Nahei.
Setiap tahun Komnas Perempuan menggelar forum konsultasi publik sebagai mekanisme untuk menyampaikan perkembangan kerja-kerja Komnas Perempuan, temuan, dan analisa terhadap situasi pemenuhan hak asasi perempuan, kemajuan, tantangan pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Komnas Perempuan pada 2018 genap berusia 20 tahun.
Laporan tersebut langsung ditanggapi oleh Fitria, mewakili komunitas korban; Prahesti Pandanwangi, Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas; Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anggota Komisi VIII DPR; dan Yuyun Wahyuningrum, Wakil Indonesia di ASEAN Intergovernmental Comission on Human Right/AICHR.
Rekomendasi
Pada akhir laporan tahunan 2018, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada negara untuk meningkatkan respon yang komprehensif terkait situasi dan konteks kekerasan terhadap perempuan dengan berbasis data dan fakta dalam setiap ranah baik pribadi maupun publik.
Caranya antara lain dengan menyediakan regulasi yang melindungi dan menjawab kebutuhan pemenuhan hak korban, mengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual, mengintegrasikan prinsip hak korban dalam pembahasan RUU Hukum Pidana, serta menerbitkan aturan pelaksana yang mengedepankan prinsip hak korban untuk optimalisasi pelaksanaan UU PKDRT dan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Negara juga harus menghentikan pelaziman kekerasan, mengelola konflik dan menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu untuk mencegah keberulangan dengan memenuhi hak kebenaran pemulihan dan keadilan bagi para korban konflik dan pelanggaran HAM masa lalu, mengenali dan mencegah radikalisme berkekerasan termasuk mencegah terorisme yang melibatkan atau berdampak pada perempuan.
Satu-satunya di ASEAN
Menanggapi Laporan Komnas Perempuan tersebut Yuyun Wahyuningrum menyatakan apresiasi dengan Komnas Perempuan. Karena lembaga tersebut merupakan satu-satunya organ dari pemerintah di tingkat ASEAN yang melindungi hak perempuan.
“Negara-negara lain tidak punya mekanisme seperti ini. Lalu semakin lama, Komnas Perempuan berevolusi dan makin kuat. Jadi Komnas Perempuan mesti mulai mengekspor apa yang dilakukannya ke negara-negara di ASEAN bagaimana mereka melindungi dan menghormati hak-hak perempuan,” ujar Yuyun.
Prahesti Pandanwangi mengatakan, kekerasan terhadap perempuan sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Karena itulah, dia berharap prinsip-prinsip tersebut harus dikampanyekan bersama-sama oleh Komnas Perempuan dengan lembaga-lembaga pemerintah.