JAKARTA, KOMPAS - Di balik metode kampanye digital yang murah dan mulai marak digunakan para politisi akhir-akhir ini, tersimpan potensi dampak buruk terhadap demokrasi yang perlu diantisipasi. Regulasi dan literasi media sosial pun menjadi kunci penting untuk mengantisipasi dampak buruk dari kampanye politik lewat media digital, khususnya kampanye spesifik yang memanfaatkan data raksasa.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, potensi dampak buruk dari kampanye politik melalui media sosial perlu diantisipasi, khususnya kampanye spesifik yang menggunakan data raksasa digital. Sejauh ini, ujarnya, belum ada regulasi yang tegas dari Komisi Pemilihan Umum mengenai pengaturan kampanye digital gaya baru itu.
Bahkan, regulasi untuk kampanye media sosial pada umumnya, juga relatif masih terlalu longgar.
“Aturan yang kita punya sekarang masih terlalu longgar, dan belum sampai masuk ke wilayah itu (penggunaan data raksasa) karena antisipasinya kurang. Metode seperti ini belum banyak dibicarakan. Padahal, kalau melihat kasus di luar negeri, efeknya bisa luar biasa, positif maupun negatif,” kata Burhanuddin.
Aturan yang kita punya sekarang masih terlalu longgar, dan belum sampai masuk ke wilayah itu (penggunaan data raksasa) karena antisipasinya kurang. Metode seperti ini belum banyak dibicarakan. Padahal, kalau melihat kasus di luar negeri, efeknya bisa luar biasa, positif maupun negatif
Dalam ulasan “Online Political Microtargeting: Promises and Threats for Democracy” oleh sejumlah pakar politik dari Universitas Brussels dan Universitas Amsterdam serta dimuat di jurnal ilmiah Utrecht Law Review, 2018, beberapa potensi buruk dari kampanye digital berbasis data raksasa antara lain pelanggaran hak privasi, manipulasi psikologis terhadap pemilih, serta berkembangnya lahan subur untuk penyebaran kabar bohong (hoaks) dan ujaran kebencian yang bisa memperparah polarisasi di masyarakat.
Itu dimungkinkan karena penggunaan kampanye berbasis data raksasa memungkinkan politisi memetakan kelompok pemilih berdasarkan perilakunya di media sosial, termasuk karakteristik dan latar belakang sosial, ekonomi, dan budayanya. Politisi kemudian menjahit pesan kampanye personal yang disesuaikan dengan perilaku dan latar belakang pemilih bersangkutan.
Kampanye digital berbasis data raksasa juga bisa membuat partai semakin kehilangan identitas atau platform ideologisnya. Sebab, atas nama efektivitas, partai dan politisi akan tergoda menyesuaikan janji pesan kampanyenya mengikuti latar belakang psikologis pemilih yang disasar.
Kian massif
Burhanuddin mengatakan, regulasi yang tegas perlu segera dibuat, karena dalam 5-10 tahun ke depan diprediksi penggunaan kampanye politik digital berbasis data raksasa akan semakin masif. Itu seiring dengan semakin banyaknya jumlah masyarakat pemilih yang memakai media sosial untuk mengikuti berita-berita politik.
Berdasarkan survei yang dilakukan Indikator Politik pada Desember 2018 terhadap 1.220 responden di 34 provinsi, sebanyak 49,8 persen responden intens menggunakan internet dalam satu bulan terakhir. Pemilih yang mengonsumsi berita politik lewat internet juga meningkat tiga kali lipat dari sebelumnya.
Pada Maret 2014, hanya 7 persen responden yang setiap hari atau hampir setiap hari memilih mengikuti berita politik lewat internet. Per Desember 2018, jumlah itu meningkat menjadi 22 persen. Sementara itu, tren penggunaan saluran media arus utama untuk mengonsumsi berita politik seperti televisi, koran, dan radio, semakin turun dari tahun ke tahun.
Burhanuddin mengatakan, medsos tidak hanya menjadi ruang yang kondusif untuk berbagai informasi, tetapi juga berbagi emosi. Ketika informasi yang dibagi di medsos tidak berdasarkan kebenaran obyektif, ujarnya, yang muncul adalah kebenaran emosional. Apalagi, kampanye politik bukan hanya kampanye positif, tetapi juga kampanye hitam yang penuh dengan hoaks dan ujaran kebencian.
Itu semakin diperparah dengan pemetaan spesifik terhadap perilaku pemilih di medsos yang dimungkinkan dengan memanfaatkan data raksasa mentah di internet.
“Jangan sampai kampanye yang mengeksploitasi emosi, strategi kebohongan, politik identitas, itu membahayakan fondasi keberagaman bangsa karena tidak ada aturan yang jelas mengenai kampanye politik di media sosial,” kata Burhanuddin.