Sanksi Peringatan untuk Komisioner KPU dan Bawaslu
Komisioner Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum dijatuhkan sanksi peringatan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisioner Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum dijatuhkan sanksi peringatan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Penyelenggara pemilihan umum menilai sanksi tersebut menjadi peringatan dan pembelajaran ke depannya.
Dalam surat putusan Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) pada Rabu (30/1/2019), Ketua KPU Arief Budiman terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Sanksi ini diberikan atas laporan dugaan pemalsuan gelar dan ijazah yang dilakukan oleh bakal calon anggota legislatif DPR dari Partai Demokrat daerah pemilihan Jawa Barat V Anton Sukartono Suratto.
Pada Agustus 2018, Forum Silaturahmi Alumni (FSA) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Lintas Generasi melaporkan Anton ke KPU. Pelaporan dilakukan karena Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono tidak memberi tanggapan mengenai somasi untuk mencoret Anton.
Dalam surat yang ditandatangani oleh Ketua DKPP Harjono itu disebutkan, KPU tidak pernah memanggil pengadu selaku pelapor untuk dimintai klarifikasi lanjutan, atau prosedur lainnya yang bertujuan untuk menguatkan laporan Pengadu. KPU akhirnya menyatakan Anton Sukartono Suratto telah Memenuhi Syarat (MS) sesuai dengan berkas dokumen yang diajukan dalam memenuhi dokumen persyaratan calon.
Arief Budiman yang ditemui di Kantor KPU di Jakarta, Jumat (1/2/2019), mengatakan, sanksi ini menjadi peringatan dan pembelajaran bagi dia dan anggota KPU lainnya. “Mudah-mudahan ke depan kami bisa bekerja lebih baik,” ujarnya.
Selain KPU, DKPP juga menjatuhkan sanksi peringatan tertulis pada Ketua Bawaslu Abhan dan dua anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar dan Rahmat Bagja. Sanksi tersebut tercantum pada surat putusan DKPP pada 16 Januari lalu.
Sanksi diberikan karena ketua dan anggota Bawaslu juga dinilai melanggar kode etik dalam kasus pernyataan politisi Demokrat Andi Arief yang menyebut adanya mahar politik Rp 1 triliun dalam pencalonan presiden-wakil presiden.
Bawaslu yang kala itu memutuskan laporan dugaan mahar tak terbukti, dilaporkan oleh Federasi Indonesia Bersatu (Fiber) ke DKPP, 3 September 2018.
Dalam pemeriksaan oleh DKPP, terungkap bahwa Andi Arief sebenarnya menyanggupi undangan Bawaslu agar dirinya diperiksa melalui sambungan aplikasi Whatsapp atau diperiksa di Bandar Lampung. Namun, Bawaslu menolaknya dengan alasan administrasi. Alasan kendala administrasi, menurut DKPP tidak dapar dibenarkan atau tidak dapat diterima.
"Fakta persidangan terungkap bahwa saksi Andi Arief menyanggupi hadir pada undangan kedua jika klarifikasi dilakukan di Bandar Lampung maupun melalui sambungan aplikasi Whatsapp. Namun para Teradu tidak menyanggupi dengan alasan administrasi," ujar Harjono.
Dalam surat keputusan tersebut, Harjono menilai Bawaslu dapat melakukan upaya lebih dalam mencari keterangan untuk memeriksa laporan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2018 Pasal 14 ayat (2) huruf b tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.
DKPP memutuskan, Bawaslu telah melanggar peraturan DKPP nomor 2 tahun 2017 Pasal 11 huruf b, huruf c, huruf d, dan Pasal 15 huruf e tentang kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilihan umum.