JAKARTA, KOMPAS — Kalangan jurnalis menghargai upaya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengkaji ulang pemberian remisi terhadap I Nyoman Susrama, dalang pembunuhan jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa. Namun, rencana tersebut diharapkan berdasarkan fakta hukum yang ada, bukan karena kepentingan politis.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sri Puguh Utami menyatakan, Kemenkumham tengah berdiskusi dan meminta pendapat para pakar untuk mengkaji ulang pemberian remisi terhadap Susrama. Pengkajian ulang keputusan tersebut dilakukan setelah pemerintah mendengar tuntutan masyarakat, baik dari kalangan pers maupun keluarga almarhum Prabangsa.
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusnanto menyebutkan, baru kali ini ada upaya untuk mengkaji ulang keputusan remisi atas dasar tuntutan yang muncul dari masyarakat.
Menanggapi upaya tersebut, Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim mengatakan, AJI menghargai upaya Kemenkumham mengkaji kembali remisi terhadap Susrama.
”Tetapi, kami ingin pemerintah tidak hanya mengkaji, tapi segera mencabut remisi itu secepatnya. Semoga hal ini tidak menjadi ’pemanis’ semata menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden,” katanya, Jumat (1/2/2019), di Jakarta.
AJI mendesak transparansi pemerintah dalam menyikapi kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali itu, terutama bagaimana bisa Presiden memberikan remisi kepada Susrama. Diharapkan kasus ini bisa menjadi evaluasi ke depan agar pemberian remisi serupa tidak terulang di kemudian hari.
AJI mendesak transparansi pemerintah dalam menyikapi kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali itu, terutama bagaimana bisa Presiden memberikan remisi kepada Susrama.
Fakta persidangan menyatakan pembunuhan Prabangsa terkait berita dan pembunuhan tersebut dilakukan secara terencana. Hukuman yang dijatuhkan kepada Susrama sebenarnya lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yaitu hukuman mati. Namun, hakim akhirnya mengganjarnya dengan hukuman seumur hidup.
”Kebijakan Presiden mengurangi hukuman itu melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi juga jurnalis di Indonesia. Karena itulah, kami meminta Presiden Joko Widodo mencabut keputusan pemberian remisi terhadap Susrama,” kata Ketua Umum AJI Abdul Manan.
”Kami menilai, kebijakan semacam ini tidak arif dan memberikan pesan yang kurang bersahabat bagi pers Indonesia. Tidak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk juga memberikan keringanan hukuman bagi pelakunya, akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat pelaku kekerasan tidak jera, dan itu bisa memicu kekerasan terus berlanjut,” tuturnya.
Pascamunculnya berita pemberian remisi terhadap Susrama, istri almarhum Prabangsa, Anak Agung Sagung Mas Prihantini, langsung mendatangi Kantor Wilayah Kemenkumham Bali, Selasa (29/1/2019) pagi, didampingi Solidaritas Jurnalis Bali. Di hadapan Kepala Kanwil Kemenkumham Bali Sutrisno, Sagung mengungkapkan, pemberian remisi terhadap dalang pembunuhan suaminya membuka luka lama keluarganya, sekaligus menjadi ancaman bagi jurnalis yang bertugas di lapangan.
Desakan dari luar negeri
Tak hanya di dalam negeri, beberapa organisasi profesi jurnalis dari sejumlah negara turut mengecam keputusan Presiden Joko Widodo memberikan remisi kepada Susrama.
”Remisi tersebut kami anggap sebuah tindakan pelecehan terhadap hak asasi manusia dan ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia,” kata Ketua Umum TLPU yang juga anggota Dewan Pers Timor Leste (Conselho De Imprensa De Timor-Leste) Fransisco Belo.
Beberapa organisasi profesi jurnalis dari sejumlah negara turut mengecam keputusan Presiden Joko Widodo memberikan remisi kepada Susrama.
Seruan juga disampaikan International Federation of Journalists (IFJ) yang berkantor pusat di Brussels, Belgia, dan membawahkan 600.000 jurnalis di 140 negara. Menurut Pelaksana Tugas Direktur IFJ Jane Worthington, pemberian remisi kepada pembunuh Prabangsa menunjukkan bagaimana upaya pengungkapan kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia telah dimanipulasi.
”Kita harus mengakhiri impunitas ini dan mengadili para pelaku seadil-adilnya. Kami mendukung Aliansi Jurnalis Independen dalam menuntut Presiden Joko Widodo mencabut atau membatalkan remisi terhadap Susrama,” kata Jane.
Persoalan kebebasan pers di Indonesia masih menjadi sorotan di mata dunia. The Committee to Protect Journalists (CPJ) mencatat sebanyak 10 kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia dalam kurun waktu 1992 hingga 2019.
Dalam konteks kebebasan pers, organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, Reporters Sans Frontieres atau Reporters Without Borders, pada 2018 masih menempatkan Indonesia di peringkat ke-124 dari 180 negara. Dengan peringkat ini, prestasi Indonesia dalam memperjuangkan kebebasan pers masih jauh di bawah Timor Leste (ke-95), Afghanistan (ke-118), atau Nigeria (ke-119).