Sesuaikan Rencana Induk Transportasi dengan Aturan Tata Ruang
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
Pemerintah Provinsi DKI memastikan revisi peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah 2030 mengakomodasi secara maksimal pengembangan transportasi umum di Jakarta. Revisi pengembangan itu dilakukan dengan mengadopsi rencana atau program yang termuat dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek.
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI Jakarta Benni Agus Chandra, Kamis (31/1/2019), di Balaikota DKI mengatakan, dalam merevisi RTRW ada dikenal peta struktur ruang dan pola ruang.
Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) yang diterbitkan melalui peraturan presiden menjadi masukan bagi DKI Jakarta untuk mengevaluasi peta struktur ruang. Mengacu pada RITJ, di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebelumnya, pengembangan kawasan berorientasi transit (transit oriented development/TOD) masih terbatas. Sementara di dalam RITJ ada banyak titik pengembangan TOD di seluruh Jabodetabek.
”Nanti kami adaptasi, tetapi DKI akan mengembangkan TOD baru lainnya. Nanti dilihat saja kesesuaiannya,” ujar Benni.
Selain TOD, rencana lain yang dimasukkan dalam revisi RTRW DKI adalah stasiun. ”Sekarang basis pengembangan ruangnya adalah angkutan umum massal. Sekarang lebih kepada angkutan massal akan dibangun di mana sehingga dimasukkan juga perbaikan akses pedesterian dan penambahan jalur sepeda,” kata Benni.
Dengan revisi itu, DKI juga memasukkan perbaikan adanya perkembangan moda angkutan baru. Dengan demikian, misalnya, jika sebelumnya trase LRT Jabodebek belum tercantum dalam RTRW, hal itu akan dimasukkan.
Demikian juga ketika MRT Jakarta direncanakan akan diperpanjang sampai ke Tangerang Selatan, diharapkan rencana itu juga masuk dalam revisi RTRW.
”Itu yang harus kami masukkan dalam revisian. Kami akomodasi. Itu kan program strategis nasional. Tetapi itu kan ada perpresnya, jadi diakomodasi dalam kebijakan gubernur. Trase-trase kan di gubernur, terus diakomodasi,” kata Benni.
Revisi di bidang transportasi itu dilakukan salah satunya untuk menyelaraskan dengan perkembangan transportasi di Jakarta dan rencana DKI Jakarta menjadi pengelola transportasi di Jabodetabek.
Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Yoga Adiwinarto, secara terpisah, menjelaskan, pandangannya terkait pengelolaan transportasi di Jabodetabek berbeda. Ia melihat RTRW antardaerah di Jabodetabek belum sinkron.
Ia menilai seharusnya semua pemangku wilayah di Jabodetabek duduk bersama, mengonsolidasikan RTRW. Masing-masing memaparkan rencana pengembangan dan pembangunan di wilayahnya.
Masing-masing perlu mengetahui titik mana yang dikembangkan sebagai kawasan permukiman, pabrik, TOD, ruang terbuka hijau (RTH), ataupun yang lainnya di wilayah masing-masing. Begitu ada kejelasan peruntukan, sistem transportasi bisa dimasukkan.
”Karena transportasi itu turunan dari tata guna lahan. Jadi, tata guna lahan yang dituangkan dalam RTRW barulah setelah itu melihat ada pengembangan ke sana barulah dibuat pengembangan jaringan transportasinya,” kata Yoga.
Dengan adanya RITJ yang dikeluarkan pemerintah pusat, Yoga melihat itu tidak sesuai. Itu karena RITJ yang memasukkan banyak rencana pengembangan transportasi tidak melihat rencana pengembangan wilayah oleh pemerintah setempat.
Ia mencontohkan, satu proyek tol dari wilayah A ke B. Bisa jadi proyek itu tidak melihat perencanaan di wilayah itu dan malah menggusur penduduk yang sudah tinggal di sana.
Dalam pandangan Yoga, justru RITJ yang harus menyesuaikan dengan rencana pengembangan wilayah oleh pemerintah provinsi atau kota atau kabupaten di Jabodetabek.
Benni menambahkan, saat penyusunan revisi perda RTRW masih berlangsung, pihaknya nantinya mengundang pemerintah daerah di sekitar Jakarta juga meminta rekomendasi teknis dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang.