JAKARTA, KOMPAS —Momentum pengumuman nama calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 yang berstatus bekas narapidana perkara korupsi perlu dijaga guna mendorong masyarakat mempelajari rekam jejak caleg sebelum memilih. Hal ini hanya bisa dilakukan melalui sinergi berbagai pemangku kepentingan pemilu untuk terus mengingatkan pemilih.
Seperti diberitakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan 49 calon anggota legislatif (caleg) yang merupakan bekas narapidana perkara korupsi pada Rabu (30/1/2019). Terkait dengan hal itu, kelompok masyarakat sipil mendorong KPU menindaklanjutinya dengan memasang daftar nama-nama caleg tersebut di tempat pemungutan suara (TPS) di daerah pemilihan mereka.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Sigit Pamungkas, Kamis (31/1), di Jakarta, menuturkan, apabila nama-nama caleg itu tidak dipasang lagi di TPS, dikhawatirkan pemilih tidak ingat atau tidak mengetahui rekam jejak mereka sekalipun telah diumumkan KPU.
”Harus ada sinergi antara KPU yang mengumumkan nama-nama caleg berstatus bekas narapidana korupsi dan upaya yang dibangun masyarakat sipil untuk terus mewacanakan isu itu,” kata Sigit.
Anggota KPU, Ilham Saputra, mengatakan, terbuka kemungkinan bagi KPU untuk memasang nama caleg berstatus bekas narapidana korupsi di TPS. Namun, hal itu harus dikaji dan dibicarakan dulu dengan semua anggota KPU dalam rapat pleno. Alasannya, dengan pemasangan nama calon di TPS, berarti harus diberikan tanda khusus pada caleg tertentu.
Terkait kemungkinan mengumumkan caleg yang berstatus bekas narapidana dalam kasus lain, menurut Ketua KPU Arief Budiman, hal itu bisa saja dilakukan. Namun, KPU harus meminta data terlebih dulu kepada KPU di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota.
Diserahkan ke KPU
Partai politik yang calon anggota legislatifnya teridentifikasi berstatus bekas terpidana kasus korupsi menyerahkan urusan sosialisasi kepada caleg yang bersangkutan serta KPU.
Partai yang memiliki caleg berstatus bekas narapidana korupsi ialah Partai Golkar, Gerindra, Hanura, Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Berkarya, Partai Garuda, Perindo, PDI-P, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Bulan Bintang.
Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Muhammad Zainul Majdi (TGB) mengatakan, DPP sejak awal tidak bisa mengintervensi proses pencalonan caleg di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang merupakan wewenang pengurus daerah.
Hal senada disampaikan Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria. Menurut dia, DPP Partai Gerindra tak bisa mengawasi proses pencalonan di daerah. Pencalonan bekas terpidana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota berada di luar pengetahuan pengurus tingkat pusat.
”Urusan dengan partai sudah selesai, dengan KPU juga sudah. Sekarang, kami tinggal menyerahkan kepada masyarakat untuk menentukan pilihan terbaik,” ujar Riza.
Adapun sebagian masyarakat di daerah skeptis menanggapi pengumuman itu. Pemilik Kedai Kopi Politik di Rembang, Jawa Tengah, Maninus Suud, mengatakan, respons pemilih atas publikasi para caleg bekas koruptor seolah dipatahkan oleh sikap sosial mereka yang agresif dalam membangun kembali kepercayaan konstituen di daerah pemilihan.