JAKARTA, KOMPAS — Aset di kawasan bekas kilang gas alam cair (LNG) Arun, Kabupaten Lhokseumawe, Aceh, masih terbengkalai pascaterhentinya operasi kilang LNG tersebut sejak Oktober 2014.
Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) selaku pengendali aset LNG Arun tengah mencari investor yang berminat memanfaatkan aset di Arun termasuk pengembangan industri baru di kawasan tersebut. Arun, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2017, kawasan kilang LNG Arun ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe.
"Nilai aset di kawasan LNG Arun sebesar Rp 6,3 triliun dengan luas lahan mencapai 1.800 hektar. Potensi bisnis yang bisa dikembangkan di kawasan itu adalah regasifikasi, terminal pengiriman gas, pembangkit listrik, atau potensi bisnis lainnya mengingat lokasinya sangat strategis dan menjadi jalur perlintasan kapal," ujar Direktur Utama LMAN Rahayu Puspasari, Jumat (1/2/2019), di Jakarta.
Menurut Rahayu, pihaknya bekerja sama dengan PT Patriot Nusantara Aceh atau Patna, badan usaha yang dibentuk Pemerintah Provinsi Aceh, untuk mengembangkan kawasan dan aset di Arun tersebut. Hanya saja, sampai sekarang rencana pengembangan (master plan) kawasan Arun belum selesai disusun. Ia mengharapkan penyusunan master plan oleh Patna bisa tuntas secepatnya pada triwulan pertama 2019.
Kilang LNG Arun mulai beroperasi pada 14 Oktober 1978 menyusul ditemukannya cadangan gas alam di Arun. Indonesia sempat menjadi eksportir gas alam cair terbesar di dunia yang diproduksi di Arun. Seiring habisnya cadangan gas, operasi kilang LNG Arun terhenti mulai Oktober 2014.
"Namun, masih banyak aset yang tertinggal, seperti perumahan karyawan, kilang penyimpanan gas, turbin gas, pembangkit listrik, pelabuhan, dan fasilitas publik lainnya. Sayang sekali kalau fasilitas itu tak terpakai dengan optimal," ucap Rahayu.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menambahkan, Patna yang bertanggung jawab dalam hal penyusunan perencanaan pengembangan kawasan Arun harus didukung penuh pemerintah pusat. Kebijakan pengembangan kawasan tersebut harus ramah terhadap investor. Namun, kebijakan yang dibuat sebaiknya tidak bertentangan dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
"Aspek sosial dan budaya maupun kearifan lokal masyarakat Aceh tidak boleh diabaikan dalam strategi pengembangan kawasan," kata Mardiasmo.