Barongsai Tampil dalam Pameran Imlek Kosen di Bentara Budaya Yogyakarta
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
Para pria berkaus dan bercelana merah menabuh beduk keras-keras. ”Cas, cas, cas,” suara simbal memekakkan telinga pengunjung yang sedang menyaksikan empat barongsai menari-nari. Sesekali, barongsai itu mengedipkan matanya, menggoda pengunjung yang sedang menonton. Pengunjung pun larut dalam satu semangat kegembiraan.
Suasana itu tercipta dalam pembukaan pameran seni rupa bertajuk ”Kosen” yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Kotabaru, Kota Yogyakarta, Jumat (1/2/2019). Pameran itu digelar untuk menyambut Imlek pekan depan.
Oei Hong Djien, kolektor seni rupa, mengatakan, pameran itu bukan pameran biasa. Sebab, dalam pameran itu, semua yang terlibat sedang merayakan keberagaman. Hari raya Imlek yang semula hanya dirayakan kalangan Tionghoa kini menjadi milik semuanya.
”Jadi (Imlek) tidak hanya perayaan kalangan Tionghoa atau keturunannya. Semua sudah ikut merayakan, ikut senang, ikut berpartisipasi. Tahun baru Imlek jadi milik rakyat. Milik bangsa Indonesia,” ujar Hong Djien di sela-sela pameran.
Ia menuturkan, perupa melalui karyanya berusaha meleburkan perbedaan. Tembok yang selama ini terkesan membatasi coba dirobohkan. Palang yang selama ini menghalang coba diterjang. Mereka berusaha memahami kultur lain lewat sebuah proses penciptaan karya seni rupa.
”Lihat karya-karya ini, kita sudah tidak bisa melihat lagi siapa pembuatnya. Ini yang membuat itu dari golongan etnis apa? Saya sudah tidak bisa membedakan lagi,” ucapnya.
Misalnya, pada karya berjudul ”Koin Harapan” ciptaan Ign Tri Marutama, yang berupa lukisan koin berwarna kuning emas dengan huruf mandarin di keempat sisinya. Warna merah juga mendominasi setiap sisi kosong dari lukisan itu. Corak mandarin sangat kental dalam lukisan itu meski pengunjung tak mengetahui asal-usul perupa.
”Saya saja tidak tahu itu apa tulisannya. Saya juga sudah enggak mungkin menulis begini,” ujar Hong Djien, yang merupakan keturunan Tionghoa, sambil menunjuk lukisan Marutama.
Selain itu, ada juga karya berupa lukisan wajah presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid, atau yang dikenal dengan nama Gus Dur, yang sedang tertawa lebar, buatan Agung Gunawan. Warna cerah yang mendominasi lukisan itu seolah membuat Gus Dur tampak bahagia menyaksikan persaudaraan semua orang di dalam ruang pameran itu.
Melihat lukisan itu, Hong Djien mengungkapkan, Gus Dur adalah tokoh penting yang menjaga dan merawat kebinekaan Indonesia. Imlek bisa dirayakan kembali secara terbuka berkat jasa tokoh asal Jawa Timur itu.
”Itu, kan, tokoh yang memang sangat berjasa dalam mengapresiasi dan menerima kembali budaya (Tionghoa) ini. Dulu memang sempat dilarang. Saya sendiri sebenarnya sudah tidak merayakan. Tetapi, karena kemudian semua orang merayakan, saya juga merayakan kembali,” tutur Hong Djien.
Pernah dilarang
Imlek dilarang untuk dirayakan secara terbuka selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Gus Dur, melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000, mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang mengatur pelarangan perayaan hari besar tersebut. Pada 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai dari situ, perayaan Imlek tidak hanya dirasakan segelintir orang, ttapi juga seluruh lapisan masyarakat (Kompas, 11/2/2018).
Pada 2014, ketika menghadiri perayaan Imlek tahun itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, perayaan Imlek telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Perayaan Imlek selalu dinantikan dan dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
Putu Sutawijaya, kurator pada pameran itu, menyatakan, toleransi menjadi semangat yang dikedepankan dalam pameran tersebut. Para perupa, yang berasal dari berbagai latar belakang suku dan budaya, tak keberatan ketika diminta merespons sebuah peristiwa yang merujuk pada kelompok budaya tertentu.
”Masyarakat kita sangat majemuk. Para perupa, yang juga majemuk, mencoba untuk merespons hari raya itu dengan pikiran mereka masing-masing. Ini contoh toleransi atau kebersamaan karena mereka berusaha saling memahami yang lain dengan berkarya,” kata Putu.
Ia menambahkan, di tengah ketegangan mengenai perbedaan identitas, pameran itu seolah menjadi katarsis. Ia mengendurkan urat saraf yang akhir-akhir ini kerap ditarik tegang atas satu sentimen perbedaan. Semua orang yang terlibat dalam pameran, baik perupa, kolektor, maupun sekadar pengunjung, diajak menyaru dalam kebahagiaan perayaan Imlek.
”Ini salah satu jalan membangun bangsa ini. Dengan segala perbedaannya, kita tidak menghilangkan esensi untuk menjadi satu,” ujar Putu.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, perayaan Imlek telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Perayaan Imlek selalu dinantikan dan dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
Antusiasme para perupa untuk terlibat dalam pameran itu juga tinggi. Ada 99 karya yang dipamerkan setelah mengurasi 300 karya yang masuk dalam waktu 10 hari pembukaan aplikasi pameran. Hal ini menunjukkan tingginya keinginan perupa untuk ikut ambil bagian dalam merayakan keberagaman.