KUTACANE, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara mengalami kerugian sebesar Rp 105 miliar akibat bencana banjir bandang yang terjadi pada rentang September 2018 hingga Januari 2019. Kerugian itu merupakan akumulasi dari aneka kerusakan yang ditimbulkan oleh banjir yang meliputi kerusakan infrastruktur, rumah penduduk, lahan pertanian, dan sarana pendidikan.
Wakil Bupati Aceh Tenggara Bukhari, Sabtu (2/2/2019), mengatakan, hasil perhitungan yang dilakukan dinas-dinas terkait menunjukkan nilai kerugian cukup besar. ”Jika kami kalkulasi dalam bentuk rupiah, nilai kerugian mencapai Rp 105 miliar, ini angka yang besar,” kata Bukhari.
Ia mengatakan, rincian kerugian itu meliputi kerugian yang dihitung dinas pekerjaan umum dan perumahan rakyat Rp 46,5 miliar, dinas perumahan dan permukiman Rp 42,5 miliar, dinas pertanian Rp 5,2 miliar, dinas pendidikan Rp 4,6 miliar, dinas perikanan Rp 4,6 miliar, dinas pariwisata Rp 824 juta, dinas lingkungan hidup Rp 750 juta, dan dinas kesehatan Rp 75 juta.
”Kerugian cukup besar lantaran daerah yang terkena banjir bandang luas. Ada banyak infrastruktur yang rusak, seperti jembatan dan jalan,” kata Bukhari.
Bukhari mengatakan, degradasi lingkungan, seperti kerusakan daerah aliran sungai dan hilangnya tutupan hutan, memicu banjir bandang. Intensitas banjir luapan dan bandang di Aceh Tenggara kian sering. ”Untuk mengurangi potensi banjir, tahun ini pemerintah akan melakukan normalisasi sungai,” kata Bukhari.
Degradasi lingkungan, seperti kerusakan daerah aliran sungai dan hilangnya tutupan hutan, memicu banjir bandang.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Aceh Tenggara Dicky Danu Wijaya mengatakan, sejak November 2018 hingga Januari 2019, terjadi lima kali banjir luapan dan bandang. Daerah yang kerap dilanda bandang adalah Kecamatan Badar, Ketambe, Leuser, dan Darul Hasanah. Tahun lalu, Kecamatan Lawe Sigala-gala, Seumadam, dan Babul Makmur juga pernah diterjang bandang.
”Semua kawasan di Aceh Tenggara rawan banjir dan bandang,” kata Dicky. Ia mengatakan, bencana yang terjadi sejak November hingga Januari menyebabkan jalan rusak sepanjang 4,5 kilometer. Jalan rusak itu tersebar di beberapa titik. Sembilan unit jembatan rusak berat, 250 unit rumah rusak berat, dan fasilitas publik lainnya.
Pascabencana tersebut, Pemprov Aceh dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Aceh telah mengirimkan bantuan masa panik, seperti kebutuhan pokok, obat-obatan, dan perlengkapan sekolah bagi siswa.
Direktur Forum Konservasi Leuser (FKL) Rudi Putra mengatakan, kerusakan hutan di Aceh Tenggara menjadi pemicu utama banjir bandang. Pada 2018, FKL mencatat tutupan hutan di Aceh Tenggara berkurang seluas 1.000 hektar. Pembukaan hutan untuk perkebunan dan penebangan liar memperburuk daya dukung lingkungan.
Pada 2018, FKL mencatat tutupan hutan di Aceh Tenggara berkurang seluas 1.000 hektar. Pembukaan hutan untuk perkebunan dan penebangan liar memperburuk daya dukung lingkungan.
Penyusutan hutan di hulu sungai itu memicu bencana banjir dan longsor. Anehnya, kata Rudi, tidak ada upaya pemulihan terhadap hutan yang rusak.
Hasil pemantauan FKL menunjukkan, pada 2018 ditemukan 233 kasus perambahan hutan dan 266 kasus penebangan liar di Aceh Tenggara dengan jumlah kayu yang ditemukan 641,92 meter kubik.
”Perambahan hutan dan illegal logging berlangsung sejak lama. Selama tidak ada upaya menghentikan perusakan hutan, bencana akan terus mengancam,” kata Rudi.
Perambahan hutan dan illegal logging berlangsung sejak lama. Selama tidak ada upaya menghentikan perusakan hutan, bencana akan terus mengancam.