Iklim Investasi Kondusif dan Insentif Dorong Ekspor
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perbaikan iklim investasi dibutuhkan untuk menarik penanaman modal ke Indonesia. Relokasi industri dari China menjadi salah satu peluang menarik investasi. Hal tersebut juga dapat membantu kinerja ekspor.
"Relokasi produksi dan rantai pasok global dari Tiongkok sudah terjadi. Perpindahan ke sini juga akan membantu ekspor kita," kata Komisaris Utama PT Bank BTPN Tbk Mari Elka Pangestu di Jakarta, Jumat (1/2/2019).
Mari mengatakan hal tersebut saat sesi tanya jawab pada konferensi pers PT Bank BTPN Tbk. Pada 1 Februari 2019 bank tersebut resmi beroperasi sebagai bank baru hasil merger PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI).
Di jangka pendek-menengah, menurut Mari, Indonesia harus memperbaiki iklim investasi dan secara proaktif menarik relokasi serta bagian-bagian lain rantai pasok. "Ini dilakukan Vietnam. Kita juga perlu melakukan hal sama," katanya.
Menurut Mari Indonesia juga perlu melakukan diversifikasi pasar serta penjajagan perjanjian-perjanjian dagang. Diversifikasi produk dalam jangka panjang pun dibutuhkan untuk mendorong ekspor Indonesia.
Terkait pengumuman pemerintah yang akan mempermudah ekspor, Mari mengatakan bahwa pada kondisi sekarang memang diperlukan upaya seperti mengurangi birokrasi, memfasilitasi, dan lainnya untuk mempercepat kegiatan ekspor.
Mari menuturkan dengan bergabung bersama bank global, BTPN sangat bisa mengembangkan bisnis global. "Terutama di bidang korporasi besar terkait investasi dan pembiayaan ekspor di bidang manufaktur dan jasa," katanya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto menuturkan, pemberian insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) bagi kendaraan yang banyak dibutuhkan pasar global dibutuhkan untuk meningkatkan ekspor otomotif Indonesia.
Harjanto mengatakan, selama ini MPV (multi purpose vehicle) mendapat PPnBM lebih rendah sehingga harganya pun bisa lebih murah. Jenis tersebut kemudian berkembang, diminati konsumen, dan banyak diproduksi di Indonesia.
"Begitu MPV penuh produksinya dan ingin mengekspor susah. Ini karena kendaraan yang banyak dibutuhkan di pasar ekspor dunia itu bukan MPV melainkan SUV (sport utility vehicle) dan sedan," kata Harjanto.
Menurut Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Soegiarto, Indonesia yang berpopulasi sekitar 260 juta orang merupakan lokasi cocok untuk berinvestasi.
Kepemilikan mobil di Thailand sekitar 250 unit per 1.000 orang, Malaysia 459 mobil per 1.000 orang, sedangkan Indonesia baru 87 unit per 1.000 orang. "Jadi kalau bisa naik satu saja menjadi 88 unit per 1.000 itu artinya akan ada tambahan penjualan 260.000 unit mobil setiap tahun," kata Jongkie.
Jongkie menuturkan, kapasitas produksi mobil di Indonesia saat ini sekitar 2.250.000 unit namun baru terpakai 1,4 juta. Perinciannya, untuk pemenuhan domestik sekitar 1,1 juta unit dan selebihnya untuk ekspor.
Pelaku industri baja pun saat ini harus terus meningkatkan efisiensi agar produknya mampu berdaya saing di pasar ekspor. "Kami sudah menandatangani perjanjian dengan perusahaan dari Jerman untuk meregenerasi mesin-mesin demi meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kapasitas," kata President Director PT Gunung Raja Paksi Alouisius Maseimilian.
Alouisius mengatakan, Gunung Raja Paksi selama ini mengekspor baja ke Malaysia, Singapura, Vietnam, Sri Lanka, Selandia Baru, Australia, dan lainnya. Total penjualan ekspor tahun 2018 sekitar 56.500 ton dan tahun ini ditargetkan meningkat 30 persen.