Indonesia Berencana Gugat Kebijakan RED II
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Indonesia berencana menggugat kebijakan Uni Eropa dalam renewable energy directive atau RED II ke lembaga penyelesaian sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kebijakan RED II dinilai diskriminatif terhadap komoditas minyak kelapa sawit karena mengaitkannya dengan deforestasi.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan di Jakarta, Jumat (1/2/2019) menyatakan, gugatan itu akan diajukan jika ketentuan pelaksana RED II sudah dikeluarkan dan diterapkan secara efektif di Uni Eropa (UE). Pemerintah tengah menyiapkan langkah-langkah untuk menghadapi kebijakan tersebut.
"Kita bisa mengambil langkah ke WTO dan diplomasi. Saat ini, kita masih menggalang semua kekuatan,” kata Oke. Untuk dapat mengajukan kebijakan UE yang diskriminatif ke WTO, perlu disiapkan penelitian yang dapat menunjukkan dimana kebijakan RED II itu diskriminatif, termasuk para pakar dan pengacara.
Menurut Oke, kebijakan RED II diskriminatif terhadap komoditas minyak kelapa sawit karena mengaitkan komoditas kelapa sawit dengan deforestasi. “Kalau deforestasi, lawannya forestasi, bukan pembatasan atau pelarangan komoditas minyak kelapa sawit,” katanya.
Dengan kebijakan pembatasan atau pelarangan penggunaan komoditas minyak kelapa sawit, lanjut Oke, masyarakat UE sebenarnya tidak melindungi investasi Eropa di negara lain, seperti Indonesia. Perusahaan Italia, ENI saja menjalin kerja sama dengan PT Pertamina (Persero) untuk pengembangan bahan bakar berbasis minyak sawit di Indonesia.
Kebijakan UE terkait minyak kelapa sawit, yaitu RED II, menetapkan UE wajib memenuhi 32 persen total kebutuhan energi melalui sumber terbarukan pada 2030 yang diwujudkan melalui pencapaian target-target nasional secara individual. Untuk keperluan itu, UE akan menerbitkan sebuah ketentuan pelaksana (delegated act) yang menetapkan kriteria tanaman pangan berkategori resiko tinggi dan resiko rendah perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).
Penghapusan bertahap
Tanaman pangan dengan klasifikasi resiko tinggi ILUC akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati UE. Dalam ketentuan terkait penetapan kriteria tanaman pangan berkategori beresiko tinggi dan rendah ILUC itu dapat dipastikan akan menetapkan minyak kelapa sawit sebagai tanaman pangan berisiko tinggi ILUC.
ILUC dinilai merupakan metodologi kontroversial dalam mengukur dampak budidaya tanaman untuk bahan bakar nabati yang dilakukan dengan menaksir konversi lahan tidak langsung yang dibutuhkan untuk memenuhi asumsi kekurangan dalam budidaya tanaman untuk pangan sebagai akibat dari budidaya tanaman untuk bahan bakar nabati.
Kebijakan RED II terkait dengan energi berbasis minyak sawit yang diskrimatif tidak hanya berdampak pada produk biodiesel, melainkan juga berdampak pagi produk makanan dan produk lain berbahan minyak sawit, seperti kosmetik. "Muncul persepsi yang negatif terhadap produk lain berbahan minyak sawit," kata Oke.
Oke menambahkan, dalam menghadapi kebijakan UE yang diskriminatif terhadap minyak sawit, Indonesia bisa saja mempertimbangkan untuk menkaji kembali kerja sama-kerja sama perdagangan dengan negara-negara di UE.
Direktur Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Mahendra Siregar mengatakan, mengajukan RED II ke WTO merupakan langkah yang perlu dilakukan dalam menghadapi kebijakan UE yang diskriminatif terhadap komoditas minyak kelapa sawit. Sebelumnya, pemerintah telah meminta klarifikasi kepada UE melalui Komite Hambatan Teknis Perdagangan WTO terkait substansi RED II. Namun, sampai saat ini, klarifikasi itu belum dijawab.
RED II dinilai sebagai kebijakan yang diskriminatif. Perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung atau ILUC yang digunakan UE bukan merupakan pendekatan atau metodologi yang telah terbukti secara saintifik. Ia menambahkan, rencananya, EU akan menerbitkan ketentuan pelaksana dari RED II (degelated act) pada 1 Februari 2019 yang kemudian akan diikuti oleh negara-negara UE.
Namun, lanjut Mahendra, penerbitan ketentuan itu kemungkinan ditunda. Oleh karena itu, jika ketentuan pelaksana RED II itu sudah dikeluarkan secara formal oleh UE, pemerintah Indonesia tentu akan mengambil langkah yang diperlukan, yaitu mengajukan RED II ke WTO.
Olahan
Terkait kelapa sawit, Indonesia berpotensi mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi green fuel untuk kendaraan. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto meyatakan, Indonesia berpotensi melangkah ke green fuel, antara lain karena memiliki CPO, rumput gajah, singkong.
"Belajar dari Thailand, mereka sudah pakai etanol 85 persen sehingga mengurangi ketergantungan impor bahan bakar fosil," kata Harjanto di Jakarta, Jumat (1/2/2019).
Selain mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM), penggunaan bahan bakar yang bersifat dapat diperbarui tersebut juga dapat menjaga keberlanjutan industri kelapa sawit yang saat ini mempekerjakan 12 juta orang.
"Sekarang ekspor ke Uni Eropa dibatasi dengan alasan ini dan itu. Sebenarnya ada peluang pemanfaatan sumber daya lokal seperti sawit sebagai bahan bakar alternatif kendaraan," kata Harjanto.
Secara terpisah Komisaris Utama PT Bank BTPN Tbk Mari Elka Pangestu menuturkan, tantangan bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi pasar di tengah pelambatan perekonomian China. Pelambatan ekonomi China tersebut, antara lain, terasa dampaknya di segi permintaan dan harga komoditas seperti minyak sawit mentah dan batubara.
"Bicara batubara dan kelapa sawit, sebetulnya pasar yang masih tumbuh adalah di Asia Selatan; seperti India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka," kata Mari.
Seperti yang saat ini sudah dilakukan, menurut Mari, Indonesia juga harus terus menjajagi perjanjian-perjanjian dagang. Hal ini karena Indonesia bersaing dengan Malaysia di pasar-pasar tersebut.
"Mereka sudah punya FTA (free trade agreements) dan PTA (preferential trade agreements) dengan negara-negara tersebut. Maka kita, setidaknya, juga harus mempunyai kesetaraan," kata Mari.