JAKARTA, KOMPAS - Tim angkat besi putri merancang kekuatan baru dengan memainkan Syarah Anggraini di kelas 49 kg. Syarah akan menggantikan posisi lifter peraih perak Olimpiade 2016 dan Asian Games 2018, Sri Wahyuni Agustiani.
Pelatih kepala tim angkat besi Indonesia, Dirdja Wihardja mengatakan, kelas 49 kg kosong setelah Sri Wahyuni absen dari kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 karena cuti hamil. Oleh karena itu, Syarah disiapkan untuk mengisi kelas 49 kg, atau turun dari kelas sebelumnya di 55 kg.
”Kami melihat Syarah mempunyai peluang untuk mengisi kelas itu karena progres angkatannya cukup baik. Kami akan berusaha mendorong Syarah menembus peringkat delapan besar dunia sehingga bisa tampil di Olimpiade,” ujar Dirdja di Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Dirdja mengatakan, dengan absennya Sri Wahyuni, tim Indonesia punya tugas berat untuk meloloskan dua atlet putra dan dua putri ke Tokyo 2020. Selain harus menembus peringkat delapan besar dunia, sepanjang tahun ini atlet juga dituntut tampil konsisten pada minimal lima kejuaraan wajib yang termasuk dalam kualifikasi Olimpiade 2020.
Selain Syarah, tim putri mengandalkan Acchedya Jagaddhita (59 kg), dan Nurul Akmal (+87 kg). Di peringkat kualifikasi Olimpiade 2020 per 1 Februari 2019, Acchedya berada di peringkat ke-10, Nurul dan Syarah di peringkat ke-15. Peringkat Syarah masih di kelas 55 kg. Saat dia turun kelas, Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) akan mengonversi poin di kelas lama ke kelas baru.
Di kategori putra, lifter yang diunggulkan antara lain, Eko Yuli Irawan (61 kg), Deni (67 kg), dan Triyatno (73 kg). Di peringkat kualifikasi Olimpiade 2020 per 1 Februari 2019, Eko di posisi ke-2, Deni di urutan ke-9, dan Triyatno ke-14.
Tokyo 2020
Bagi Syarah, perebutan poin peringkat dunia menuju Olimpiade 2020 sangat penting. Jika lolos, ini akan menjadi Olimpiade perdananya. ”Dengan usia 24 tahun, ini merupakan kesempatan terbaik saya tampil di Olimpiade. Umur saya sudah tidak muda lagi, saya harus bisa mewujudkan cita-cita tampil di Olimpiade,” ujar mahasiswi Fakultas Hukum di Universitas Bhayangkara Bekasi itu.
Syarah pun sangat senang bisa bermain di kelas 49 kg. ”Sejak lama, saya memang ingin bermain di kelas ini. Kalaupun Sri Wahyuni tidak cuti karena hamil, saya akan meminta pelatih untuk memainkan saya di kelas 49 kg,” ujarnya.
Dalam lima tahun terakhir, pencapaian terbaik Syarah adalah meraih perunggu di Kejuaraan Dunia Yunior 2014. Syarah menuturkan, dirinya bosan hanya menjadi peserta dalam kejuaraan angkat besi internasional. ”Sekarang saatnya berprestasi dan menunjukkan diri,” ujarnya.
Menurut Syarah, kelas 49 kg sangat cocok dengan postur tubuhnya. Saat ini berat badannya 51 kg. Dia mengaku lebih mudah turun ke 49 kg dibandingkan menaikkan berat badan menjadi 55 kg. Selain itu, persaingan kelas 55 kg sangat berat. Sejak IWF menerapkan aturan kelas baru, banyak lifter kelas 53 kg dan 58 kg yang pindah ke kelas 55 kg.
Syarah kini bersiap menunjukkan kemampuan terbaiknya di Kejuaraan Angkat Besi Internasional Piala Raja EGAT di Thailand, 7-10 Februari. Syarah berharap bisa menembus peringkat delapan dunia supaya lolos ke Olimpiade 2020.
Untuk mencapai cita-citanya tampil di Olimpiade, Syarah menjalani latihan keras. Meskipun tampil dengan berat badan yang lebih ringan, dia tidak kesulitan mengangkat beban snatch 87 kg dan clean and jerk 111 kg, atau jumlah angkatan yang sama dengan ketika tampil di Kejuaraan Dunia 2018. Padahal, biasanya power atlet akan menurun seiring turunnya berat badan.
Acchedya juga mempunyai motivasi tinggi untuk tampil di Tokyo 2020. Berdasarkan evaluasi di Kejuaraan Dunia, ada kecenderungan tangan Acchedya tidak dalam posisi sempurna saat mengangkat beban. ”Hal itu membuat beban mudah terjatuh. Sekarang saya berusaha melatih kekuatan tangan agar bisa lebih kuat mengangkat beban,” ujarnya.
Selain berlatih kekuatan tangan, Acchedya juga meningkatkan kekuatan otot paha depan. Untuk itu, Acchedya menjalani latihan squat dengan beban 125 kg. Saat Acchedya mengangkat beban, lifter senior seperti Eko Yuli Irawan dan Triyatno, kerap memberinya motivasi. ”Ayo bisa! Bisa! Kamu pasti bisa!” teriak Triyatno memberi semangat.