Kemlu: Keterlibatan WNI dalam Serangan Katedral Jolo di Filipina Belum Terbukti
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memastikan, hingga Sabtu (2/2/2019) pagi, pelaku serangan ledakan di Katedral Jolo, Filipina selatan, belum diketahui. Dugaan adanya keterlibatan warga negara Indonesia dalam aksi teror itu juga masih terus diinvestigasi.
Jumat (1/2/2019), berdasarkan laporan dari media setempat, Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Ano menyatakan, pelaku ledakan merupakan aksi bom bunuh oleh pasangan suami istri asal Indonesia.
Kelompok kriminal Abu Sayyaf dituding membimbing sekaligus mengawasi pasangan WNI itu serta membantu mereka dalam mengakses gereja. Pernyataan Ano itu didapatkan dari keterangan para saksi.
”Saya yakin, mereka (pelaku serangan) adalah warga Indonesia,” kata Ano, seperti dikutip CNN Filipina, Jumat. Ia menambahkan, sang suami bernama Abu Huda dan sudah lama tinggal di Provinsi Sulu.
Untuk mengonfirmasi tuduhan itu, Kementerian Luar Negeri RI telah berkomunikasi dengan otoritas Filipina melalui telepon. Informasi terakhir dari pihak Kepolisian Nasional Filipina (PNP) dan komando militer Western Mindanao Command (Westmincom) mengungkapkan, identitas ataupun kewarganegaraan pelaku ledakan di Jolo belum teridentifikasi.
”Informasi hingga Sabtu pagi ini menyatakan, identifikasi pelaku belum dapat dikonfirmasikan. Proses investigasi dan identifikasi masih dijalankan. Hari ini (Sabtu), saya akan terus melanjutkan komunikasi dengan otoritas Filipina,” ujar Retno di sela-sela acara Diplofest di Padang, Sabtu pagi.
Menteri Retno belum bisa menjawab langkah apa yang akan dilakukan Indonesia apabila kedua WNI itu terbukti sebagai pelaku serangan. ”(Dugaan) itu masih hipotetis. Kita akan lihat betul, apakah mereka adalah WNI. Itu yang perlu kita ketahui terlebih dahulu,” ucapnya.
Kejadian ini bukan pertama kali bagi otoritas Filipina dalam menuding keterlibatan WNI. Dugaan serupa pernah terjadi untuk serangan di Marawi. Diplomat yang memahami isu itu mengatakan, otoritas Filipina sering kali mengeluarkan pernyataan tanpa verifikasi (Kompas, 2/2/2019).
Serangan ledakan di Katedral Jolo, Filipina selatan, terjadi pada Minggu (27/1/2019) dan mengakibatkan 22 korban jiwa dan lebih dari 100 korban luka.
Tiga hari kemudian, serangan granat terjadi di sebuah masjid tidak jauh dari kota Zamboanga, Filipina selatan. Serangan itu menelan dua korban jiwa dan pelakunya belum diketahui.
Kontradiktif
Aksi bom bunuh diri yang dinyatakan Ano bertentangan dengan pernyataan aparat keamanan setempat, Senin (28/1/2019). Menurut aparat itu, bom yang dipasang di dalam dan luar gereja dikontrol oleh pelaku dari jarak jauh.
Kelompok bernama Ajang-Ajang ditetapkan sebagai tersangka utama. Mereka berafiliasi dengan kelompok kriminal Abu Sayyaf, yang kerap melakukan aksi teror di kawasan Filipina selatan.
Kemudian, Selasa, 29 Januari, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan, ledakan tersebut merupakan hasil dari bom bunuh diri.
Menurut Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana, Jumat, gereja yang diserang dilengkapi dengan prosedur pemeriksaan tas di pintu masuknya. Hal itu mempersulit pelaku untuk menempatkan bom di gereja sehingga bom yang diikat di tubuh lebih memungkinkan pelaku untuk membawa masuk bom itu.
Sementara kelompok militer Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) beberapa jam setelah kejadian mengatakan bertanggung jawab atas serangan tersebut. Mereka juga menyatakan, serangan itu dilaksanakan dua pelaku bom bunuh diri.