JAKARTA, KOMPAS — Perizinan pertambangan ataupun eksplorasi sumber daya alam lainnya menjadi lahan yang kelewat subur bagi tumbuhnya praktik suap dan korupsi. Penetapan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi sebagai tersangka dugaan korupsi pemberian izin usaha pertambangan menunjukkan lemahnya integritas kepala daerah.
Korupsi perizinan pertambangan menjadi salah satu jenis korupsi dengan jumlah kerugian negara terbesar. Supian Hadi, Bupati Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, ditetapkan sebagai tersangka Jumat (1/2/2019) dengan dugaan telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan menyalahgunakan kewenangan yang merugikan keuangan negara dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT FMA, PT BI, dan PT AIM di Kabupaten Kotawaringin Timur selama periode 2010–2015. Kasus tersebut diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 5,8 triliun dan 711 ribu dollar AS.
Sebelum Supian Hadi, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sempat diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 4 triliun sebelum terbukti hanya sebesar Rp 1,5 triliun karena hakim tidak memperhitungakan kerugian ekologis.
Staf ahli Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, Sabtu (2/2/2019) di Jakarta, mengatakan, ia berharap kasus korupsi yang menyangkut sumber daya alam di Indonesia menjadi prioritas KPK. Sebab, kasus-kasus ini, tidak hanya merugikan negara dengan jumlah besar tetapi juga merugikan secara lingkungan atau ekologis.
Emerson menilai, praktik korupsi sumber daya alam yang dilakukan oleh kepala dearah biasanya digunakan untuk memenuhi mahalnya ongkos politik dan pemilu.
“Ini simbiosis mutualisme, satu sisi kepala daerah petahana ataupun yang ingin maju lagi membutuhkan biaya politik yang tinggi. Di sisi lain, korporasi butuh proses yang cepat untuk beroperasi. Dua kebutuhan ini jadi saling melengkapi,” kata Emerson.
Satu sisi kepala daerah petahana ataupun yang ingin maju lagi membutuhkan biaya politik yang tinggi. Di sisi lain, korporasi butuh proses yang cepat untuk beroperasi
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, dugaan kerugian negara tersebut dihitung berdasarkan hasil produksi perusahaan-perusahaan tambang tersebut. Ia mengatakan, KPK akan memperjuangkan di pengadilan untuk juga menghitung kerugian negara akibat kerusakan alam dari terbutnya perizinan tambang-tambang itu.
“Kami berharap, kasus ini dapat dilihat sebagai sesuatu yang penting karena berdimensi lingkungan dan ada kerugian perekonomian negara yang besar,” kata Laode.
Berdasarkan data KPK tahun 2018, saat ini ada dari 9.155 izin usaha pertambangan di Indonesia, baru 6.638 izin pertambangan yang sudah clean and clear.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hingga September 2018, terdapat 633 tambang bermasalah di Indonesia karena tidak memenuhi persyaratan dari Kementerian ESDM.
Untuk pertambangan batu bara, menurut data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, dari 2.389 izin usaha pertambangan (IUP) batubara yang dikeluarkan pemerintah di seluruh Indonesia, hanya 1.756 IUP yang tergolong tidak bermasalah. Dengan demikian, artinya sebanyak 633 izin tambang di Indonesia berpotensi disalahgunakan.
Kondisi ini, lanjut Emerson, diperparah dengan sikap partai politik yang seakan tidak peduli asal dana yang digunakan oleh kader dalam proses politik. Partai politik terus menikmati dana tanpa sumber yang jelas. Sehingga, tidak ada upaya dari parpol untuk mencegah korupsi kepala daerah.
“Dari pengamatan kami, parpol itu cenderung tidak peduli dari mana uang itu berasal. Yang penting, ketika partai membutuhkan, kader bisa sediakan,” kata Emerson.
Emerson mengatakan ada dua solusi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi korupsi perizinan pertambangan atau eksploitasi sumber daya alam yang lain. Solusi yang pertama adalah menegakkan implementasi berbagai persyaratan perizinan, seperti pelaksanaan analisis dampak lingkungan (amdal).
“Selama ini, korupsi ini terjadi karena ada keinginan untuk ‘potong kompas’ atau tidak memenuhi prasyarat-prasyarat perizinan. Praktik korupsi nya berada pada pemenuhan syarat yang hanya bersifat formalitas,” kata Emerson.
Solusi kedua, lanjut Emerson, adalah memastikan proses pengajuan izin tidak berbiaya. “Atau paling tidak, dapat dipastikan masuk ke negara, bukan ke individu,” kata Emerson.
Emerson berharap, dengan jumlah kerugian sebesar itu, Supian Hadi dapat dihukum lebih lama dari vonis yang diterima oleh Nur Alam, yakni 12 tahun penjara. “Jadi hukumannya harus lebih maksimal dibandingkan hukuman yang diterima Nur Alam,” kata Emerson.
Laode berharap para pengusaha untuk tidak mengoperasikan usahanya sebelum seluruh persyaratan dan izin telah terpenuhi. “Kalau menimbulkan kerusakan malahan akan membatalkan semua proses itu,” kata dia. (YOHANES ADVENT KRISDAMARJATI)