Berkeliling di sudut-sudut daerah, kita mendapati pemandangan yang kotor. Kotor dalam arti sesungguhnya. Mau menikmati liburan di Puncak, pemandangan alam yang indah terganggu dengan poster, baliho, atau spanduk politik yang kadang dibiarkan kumuh. Spanduk dan baliho campur aduk antara caleg dari partai politik, capres, dan caleg Dewan Perwakilan Daerah. Campur aduk antara politik lokal dan politik nasional. Dari itu semua yang selalu konsisten hadir adalah foto diri!
Itulah iklan politik yang dalam bahasa undang-undang disebut alat peraga kampanye. Pemasangannya diatur dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di mana boleh dipasang, di mana tidak boleh dipasang? Namun, jika ada pelanggaran, siapa yang menertibkan? Di lokasi pengungsian korban gempa di Sigi, Sulawesi Tengah, pun, poster caleg bersaing warna dengan tenda pengungsi.
Coba tengok pesan yang mereka sampaikan. Seorang caleg dari partai politik di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, menyampaikan pesan, ”Siap Jungkir Balik demi Rakyat”. Pesan jungkir balik demi rakyat mungkin maksudnya akan berjuang keras menyuarakan aspirasi rakyat. Agar terkesan lebih menarik, foto dirinya pun dikemas secara terbalik.
Ada juga poster caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ada empat orang berdiri. Orang yang paling kiri berdiri dengan kedua tangannya. Kontras dengan orang lain yang berdiri dengan kakinya. Pesannya: pilih dong yang beda! Ada juga caleg yang mempunyai slogan: membangun generasi bangsa tanpa korupsi. Kemudian ada foto si caleg: siap dipenjara dengan tangan terborgol!
Membaca pesan-pesan seperti itu, rakyat seharusnya tidak perlu khawatir dengan masa depan bangsa ini. Coba tengok ada poster berpesan, ”Jaga Agama, Jaga Budaya, Jaga NKRI”. Ada juga caleg yang berjuang di DPRD menjanjikan pajak sepeda motor gratis, SIM gratis, STNK gratis. Caleg salah satu parpol menyampaikan pesan: rakyat tidak boleh miskin, rakyat harus sejahtera.
Reformasi dan sistem pemilihan langsung telah menggiring bangsa ini memasuki era pemasaran politik. Pencitraan personal jadi penting dan dilakukan melalui berbagai media luar ruang (seperti poster dan spanduk) ataupun media digital. Entah itu Twitter, Instagram, Facebook, atau grup Whatsapp.
Membaca jargon parpol, seharusnya negara dan bangsa ini aman dan tenteram. Hampir semua parpol punya tujuan sama: menyejahterakan rakyat. Hampir semua profesi diperjuangkan. Lihat poster seorang caleg, ”dengan semangat perjuangan, izinkan kami berjuang untuk generasi muda, buruh, petani, dan nelayan”. Pokoknya, semua diperjuangkan nasibnya. Misalnya, mulai dari youtuber, pengemudi ojek daring, mantan atlet, hingga purnawirawan. Begitu indah pesan politik.
Namun, realitas politik mengatakan, pesan kampanye berbeda dengan saat memerintah. Kita tengok pesan kampanye tahun 2009, ”Katakan Tidak pada Korupsi”. Para aktor yang jadi juru kampanye antikorupsi menjadi terpidana korupsi. Itulah realitas panggung politik kita. Panggung depan beda dengan panggung belakang. Ujian akan korupsi atau tidak, akan muncul ketika orang itu memegang kekuasaan.
Kampanye adalah menjual harapan sekaligus memoles diri. Hal itu kadang menjadi realitas semu. Kampanye adalah menjual gagasan, dalam ruang kosong. Namun, saat memerintah, situasinya berbeda. Ketika memerintah, banyak hal harus dipertimbangkan. Janji menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu tak kunjung selesai karena resistensi kelompok yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Itu khas dalam semua negara yang sedang bertransisi demokrasi.
Idealnya janji kampanye harus direalisasikan. Namun, dalam realitas politik, di mana sebenarnya posisi janji kampanye dalam sistem politik hukum Indonesia? Di mana posisi dokumen visi dan misi calon presiden yang diajukan ke KPU? Janji kampanye itu yang ditulis dalam dokumen resmi, yang disampaikan dalam debat, disampaikan oleh kontestan atau oleh tim sukses mereka? Ini kompleksitas tersendiri.
Bisakah janji kampanye ditagih secara hukum atau dipersoalkan secara politik dengan tudingan pembohong? Padahal, situasi saat memerintah berbeda dengan saat kampanye. Yang dituntut adalah penjelasan kepada publik mengapa janji kampanye itu belum bisa diwujudkan, apa kendalanya, dan bagaimana untuk selanjutnya?
Janji kampanye dalam dokumen layak ditransformasikan menjadi dokumen berkekuatan legal. Perlu dipikirkan, apakah mungkin janji kampanye atau dokumen kampanye menjadi semacam undang-undang sehingga ada kontrol rakyat untuk menagihnya melalui DPR? Namun, ketika proses politik dimulai di DPR, semuanya tentu bisa berubah. DPR bisa menagih janji kampanye, dan eksekutif pun bisa menjelaskan kendala yang dihadapinya. Sebab, dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan eksekutif tetap harus bernegosiasi dengan legislatif. Ibaratnya, mau menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, juga harus menunggu keputusan politik dari DPR. Mau menaikkan gaji penegak hukum, juga butuh dukungan politik dari DPR.
Sebagai caleg, kewenangannya juga terbatas. Janji kampanye caleg harus ada dalam domain kewenangannya. Kewenangan memperjuangkan bebas pajak tak mungkin dilakukan seorang diri. Harus ada negosiasi dengan eksekutif dan legislatif. Membuat janji kampanye juga harus realistis dan masuk akal, bukan hanya narsistik sekadar memasang foto diri di baliho.
Jika tidak, politik akan mengingatkan kita dengan apa yang dikatakan politisi Uni Soviet, Nikita Khrushchev (1894-1971), ”Politisi itu semua sama. Mereka menjanjikan membangun jembatan meskipun tidak ada sungai di sana.” Atau kata Jenderal Perancis, Charles de Gaulle (1890-1970), ”Politisi tidak percaya pada ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka terkejut ketika rakyat memercayainya.”
Menjadi ideal ketika janji kampanye itu ditunaikan, tetapi realitas empirik politik selalu mengatakan, ”kampanye dan memerintah” adalah dua hal berbeda. Diskoneksi inilah yang selalu menimbulkan diskursus dalam setiap pemilu.