Membordir dengan Hati
Perkembangan teknologi di dunia bordir tak menggoyahkan keteguhan Sri Hartini (72) menekuni bordir buatan tangan. Goresan desain khas yang dipadu sentuhan tangan-tangan terampil membuat kerajinan bordir Margriet Embroidery and Craft selalu tampil berkelas. Baginya, karya bordir tangan lebih halus.
”Membordir dengan tangan seperti melakukan sebuah pekerjaan seni, ada hati yang ikut bekerja,” kata Hartini, mantap.
Meskipun perlu waktu yang lebih lama, namun sentuhan tangan dari perajin membuat hasil bordir lebih halus dan artistik karena dikerjakan dengan ketelitian tinggi.
Sejak menekuni bisnis ini 50 tahun silam, berbagai produk sudah dibuat perempuan kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini. Sebagian besar bordir kreasinya diaplikasikan pada berbagai perlengkapan rumah tangga, seperti taplak meja, wadah tisu, sarung bantal kursi, tudung saji, pajangan dinding, dan kap lampu meja.
Seiring perkembangan waktu, Hartini memperluas produk bordir kreasinya. Tak hanya perlengkapan rumah tangga, bordir juga diaplikasikan untuk mempercantik busana, tas, hingga cendera mata kipas.
Bordir karyanya menarik perhatian dan memikat hati konsumennya. Bahkan, produk bordir Margriet Embroidery and Craft kerap kali dijadikan cendera mata dalam perjalanan dinas ke luar negeri.
Harga kerajinan bordir karya Hartini bervariasi, dari ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. “Bordir ini juga sudah puluhan tahun merambah pasar hingga Jepang dan beberapa negara di Eropa,” tutur Hartini yang sempat membuka gerai di Jalan Kemang Selatan, Jakarta, karena sebagian konsumennya ekspatriat.
Daya pikat kerajinan bordir Margriet ada pada komposisi warna benang, desain motif di atas kain, serta kualitas pengerjaannya. Dia memilih warna cerah sebagai warna kain dasar. Kain yang dipakai adalah katun paris dan linen, sedangkan benang bordir dibeli dari pasar di Surabaya.
Selanjutnya, Hartini menggambar motif pada lembaran-lembaran kain dengan tangannya sendiri. Gambar itu kemudian dibordir oleh sejumlah karyawan yang sudah diberi pelatihan membordir.
Hartini selalu membuat desain yang variatif, penempatan motif yang tepat, padu padan corak, dan permainan warna benang yang tepat. Dengan cara itu, produk bordir menjadi menarik.
Kecintaannya pada batik lawasan juga diterapkan untuk produk bordir sejak 2017. Motif batik lawasan seperti batik parang yang detail dan halus, dibuatnya dalam bentuk bordir. Layaknya membatik, Hartini menggambar sendiri motif batik parang dan mengisi pola-polanya dengan bordir, meskipun tidak sehalus batik.
”Saya memilih warna-warna bordir Eropa yang lembut. Ada juga warna bordir Jepang yang cenderung warna alam atau tanah. Saat ini saya mulai membuat warna cerah untuk menarik pasar anak-anak muda,” jelasnya.
Upaya tak henti berinovasi antara lain diwujudkan dengan memunculkan setidaknya satu motif baru per tahun.
Belajar ke Jepang
Untuk terus menambah variasi desain bordir, dia mengoleksi beragam kain tradisional dari berbagai penjuru Tanah Air. Dia juga ke Jepang untuk mempelajari bordir khas negara tersebut saat mengikuti pameran di negeri Sakura.
“Kesempatan itu saya gunakan untuk melihat langsung karya bordir dari Jepang sekaligus belajar tekniknya agar bisa membuat bordir dengan kualitas serupa,” katanya.
Kecintaan Hartini pada kerajinan bordir dimulai sejak muda. Rasa cintanya dimulai ketika ibu dari Louisa Sulistyorini (38) ini gemar menata perabot rumah tangga. Kegiatan itu dilakukan agar rumahnya terlihat cantik ketika sang kekasih datang mengunjunginya di rumah.
Hartini kemudian meneruskan sekolah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Malang, Jatim, jurusan kesenian. Dia berharap mendapat banyak ilmu untuk menggambar dan mendesain kerajinan tangan.
Akan tetapi, dia tidak lulus dari sekolah ini karena situasi keamanan bergejolak. Namun, Hartini tak henti memelihara hobinya.
Bahkan, hobi itu digarap dengan serius pada 1969, setelah mampu membeli sebuah mesin bordir seharga Rp 35.000 di Pasar Tunjungan, Surabaya. Uang untuk membeli mesin bordir itu dari saudaranya Rp 25.000 dan atasan tempatnya bekerja Rp 10.000.
Tak lama, ia keluar dari tempat kerjanya di sebuah perusahaan, demi menekuni bisnis kerajinan bordir. Beberapa waktu menjalani bisnis ini membuat Bordir Margriet kian diterima pasar. Saat itu pesanan terus bertambah, namun banyak yang tidak bisa dipenuhi karena modal yang terbatas.
Ketika adiknya yang bekerja sebagai pilot menawarinya pinjaman untuk berinvestasi, Hartini tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia meminjam Rp 1 juta dengan bunga 3 persen per tahun. Pada 1972, uang Rp 1 juta tersebut sangat besar.
Hartini membelanjakan separuh modalnya itu untuk membeli 8 mesin bordir dan perlengkapan lain. Sisanya, sebesar Rp 500.000, digunakan untuk arisan dengan iming-iming bunga 6 persen per tahun. Namun, uangnya yang diikutkan pada arisan itu sempat tak jelas nasibnya, meskipun setahun kemudian kembali utuh.
Berbagi ilmu
Sebagai salah satu pelaku bisnis kerajinan bordir yang cukup lama, Hartini tak pelit membagi ilmu dalam mengkreasikan kerajinan ini. Dia mengajari rekan-rekannya berbisnis, mulai dari membuat desain hingga membordir dengan kualitas yang baik. Sejumlah anak dari pembeli bordir karyanya mengikuti jejak Hartini menekuni bisnis bordir.
Jatuh bangun bisnis dialami Hartini, antara lain saat tujuh pegawainya “dibajak” pesaing. Harga produknya juga sempat "rusak" saat pesaingnya membeli bordir Margriet dan menjualnya kembali kepada konsumen seharga 70 persen dari harga jual normal.
“Saya percaya Tuhan selalu memberikan jalan,” katanya.
Setengah abad berlalu, Hartini masih konsisten di jalur bordir buatan tangan. Baginya, selalu ada pasar bagi konsumen bordir buatan tangan. Daya pikatnya tak lekang oleh waktu, selama terus menjaga kualitas yang berkelas.