Oase Akhir Pekan di Taman Suropati
Manusia dan taman. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Geliat aktivitas di Taman Suropati, Jakarta Pusat, saat akhir pekan adalah contohnya. Di antara pepohonan, warga mereguk oase.
Manusia dan taman. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Geliat aktivitas di Taman Suropati, Jakarta Pusat, saat akhir pekan adalah contohnya. Di antara pepohonan, warga mereguk oase.
Ruang publik ibarat sebuah oase dari ruang gerak di ibu kota yang seringkali terasa begitu sempit. Akhir pekan di Taman Suropati dengan beragam kegiatannya ibarat oase dari kepenatan hidup di Jakarta.
Semarak Taman Suropati dimulai sejak malam minggu. Sabtu (19/1/2019) malam itu, semakin malam suasana semakin meriah. Di bawah bayang-bayang pepohonan, anak-anak muda duduk rapi tanpa ada yang mengatur, berpusat pada pagelaran musik kecil-kecilan di hadapannya.
Tiara Amanda Nasution (27) berdiri penuh percaya diri berdiri di pusat pertunjukkan, memegang mikrofon, sambil mengendong anak balitanya. Dengan suaranya yang mantap terlatih, ibu muda berkerudung itu menyanyikan serangkaian lagu berbahasa Inggris. Tiga buah lampu sorot memperjelas sosoknya, sementara sang anak terlelap di pelukan.
Di malam yang remang-remang itu, penonton yang duduk lesehan di lantai batu di halaman pusat Taman Suropati pun kian terbuai oleh lagu-lagu melankolis yang dibawakan Tiara. Malam itu, Tiara meramaikan pertunjukan musik Sound of Suropati.
Selain Tiara, ada beberapa penonton lain yang ikut maju. Lagu Zombie dari Cranberries hingga lagu Ipang berjudul Ada yang Hilang pun mengudara dari taman kota itu.
Komunitas Sound of Suropati merupakan komunitas yang berawal dari beberapa orang yang hobi main musik di salah satu taman kota tertua di ibu kota itu. Pertunjukan mereka biasanya dimulai pukul 21.00 hingga sekitar tengah malam.
Awalnya mereka hanya bermain bersama, lama-kelamaan mereka menggelar pertunjukan yang juga melibatkan penonton. Inilah yang membuat pertunjukan ini menjadi interaktif dan asyik. Sabtu malam itu, beberapa penonton maju untuk ikut menyanyi.
Ada yang manggung sembari ditonton pacar, ada yang sambil mengasuh anak seperti Tiara, ada pula yang sekadar melepas hobi bernyanyi yang sehari-hari kurang tersalurkan karena kesibukan kerja.
Kendati mengaku tak seberapa mantap, komunitas ini terlihat cukup serius dalam menggelar pertunjukan. Mereka membawa sendiri seperangkat sound system, lampu sorot, genset, serta instrumen musik yang cukup lengkap dengan gitar dan biola.
Penonton tak dipungut biaya. Mereka hanya menyediakan tempat untuk donasi bagi yang bersedia. Untuk ikut bernyanyi di sana, penonton bisa kirim pesan langsung dulu ke akun instagram Sound of Suropati.
Robin Tobing (32) salah satu anggota Komunitas Sound Suropati yang malam itu menjadi pembawa acara mengatakan, hampir semua anggota Komunitas Sound of Suropati adalah pekerja atau karyawan yang sehari-hari sibuk dengan pekerjaan. Pertunjukkan ini betul-betul ibarat oase dari kesibukan yang bisa menguras jiwa.
Minggu pagi
Kehidupan di Taman Suropati di akhir pekan tak pernah berhenti. Minggu pagi pukul 07.00, taman itu sudah kembali diisi dengan Yoga Gembira atau Yoga di Taman Suropati yang dirintis oleh Yudhi Widdyantoro (55).
Setiap sesi kelas yoga ini selalu diikuti puluhan warga Jakarta. Tak ada kewajiban membayar di sini, hanya ada SuSuTanTe yang kepanjangannya sumbangan sukarela tanpa tekanan.
Menjelang siang, sisi timur Taman Suropati diwarnai lagu-lagu tradisional atau lagu perjuangan yang dimainkan dengan alat musik klasik. Minggu siang itu, terdengar lagu Suwe Ora Jamu yang dimainkan dengan biola.
Kegiatan ini merupakan komunitas Taman Suropati Chamber yang sudah melegenda itu. Suara gitar, biola, cello dan bass mengiringi denyut kehidupan taman yang mulai ramai oleh keluarga dan muda-mudi yang berjalan-jalan atau duduk-duduk di bawah pohon rindang sambil makan tahu gejrot.
Taman Suropati Chamber merupakan kegiatan belajar-mengajar musik klasik yang kelasnya di taman kota. Kelas ini diikuti anak-anak hingga orang dewasa. Peserta cukup membayar Rp 200.000 per bulan untuk ikut kelas ini. Biaya ini masih jauh lebih murah dari kelas-kelas musik klasik pada umumnya yang setidaknya sudah dua kali lipat.
Pendiri Taman Suropati Chamber Ages Dwiarso (48) alias Ages Biola mengatakan, Taman Suropati Chamber sudah mulai sejak 2007. Komunitas ini berawal dari keinginannya memainkan lagu-lagu tradisional dan lagu wajib nasional di ruang publik. Tujuannya adalah lagu-lagu tersebut tetap dikenal anak-anak muda sekarang yang rata-rata lebih kenal lagu pop Korea.
“Saya ini lulusan guru dari SPG Vanlith Muntilan. Di sana kami dibekali pesan untuk terus merawat lagu-lagu daerah yang mencerminkan kebhinekaan atau mewakili masa perjuangan. Ya pada akhirnya adalah untuk merawat Indonesia,” kata Ages yang terhitung adik kelas Cornel Simanjutak, pencipta lagu-lagu nasional di zaman perjuangan.
Siang menuju sore
Tak jauh dari Taman Suropati Chamber, ada juga sekelompok anak muda yang memperlihatkan ketangkasan dengan pedang-pedang kayu panjang yang mengingatkan adegan film The Lord of The Rings. Ada satu pedang yang panjangnya hingga sekitar dua meter yang membutuhkan stamina dan keterampilan khusus hanya untuk menegakkannya di tangan.
Mereka adalah penggemar seni beladiri kuno Eropa yang sebutannya Historical European Martial Art (Hema). Ryan Li (26), salah satu anggota komunitas HEMA, mengatakan, sebagian besar anggota komunitas Hema memang penggemar trilogi The Lord of The Rings.
Komunitas Hema sudah ada di berbagai belahan dunia dengan teknik-teknik pedang yang mereka pelajari sendiri. Namun selain penggemar novel yang sudah difilmkan itu, ada juga peserta yang ikut bergabung karena tertarik melihat kegiatan mereka.
“Kalau mau gabung, silahkan saja langsung gabung di sini,” kata Ryan yang memilih Taman Suropati karena lokasinya yang strategis dan tidak adanya larangan untuk berlatih di sana.
Menjelang Minggu sore seiring matahari yang mulai bergeser ke barat, kegiatan di Taman Suropati pun turut mereda. Di salah satu sudut, ada komunitas Perpustakaan Jalanan yang lapak baca gratis.
Pengunjung dapat membaca buku-buku yang digelar di tempat sembari mengisi waktu luang. Koleksi buku mereka cukup beragam, mulai dari novel sastra berat hingga buku cerita anak-anak.
Beragam komunitas memberi kehidupan di Taman Suropati. Ruang publik itu pun tak sekedar menjadi ruang hijau yang berisi pepohonan. Konten seni, bacaan hingga olahraga turut memperkaya kehidupan kota, ibarat oase dari kepenatan hidup di Jakarta.
Selamat berakhir pekan!