Produksi Industri Manufaktur Tumbuh Melambat
JAKARTA, KOMPAS - Produksi industri manufaktur tumbuh melambat sepanjang tahun 2016 - 2018. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh perang dagang China-Amerika Serikat, pelambatan ekonomi negara tujuan ekspor produk manufaktur Indonesia, serta fluktuasi harga minyak kelapa sawit.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (1/2/2019) menyebutkan, pertumbuhan tahunan produksi industri manufaktur besar dan sedang mencapai 4,01 persen pada 2016. Tahun berikutnya, pertumbuhannya 4,74 persen. Sementara tahun 2018 tumbuh 4,07 persen.
Pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil pada 2016 mencapai 5,78 persen, lalu tahun 2017 sebesar 4,74 persen, dan tahun 2018 tercatat 5,66 persen.
Ada lima subsektor industri manufaktur skala besar dan sedang yang mengalami pertumbuhan tertinggi tahun lalu. Pertama, industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki mengecap kenaikan 18,78 persen. Kedua, produksi tahunan industri minuman tumbuh 16,04 persen.
Kemudian, produksi tahunan industri pakaian jadi naik 13,17 persen. Keempat, produksi tahunan industri karet, barang dari karet, dan plastik naik 11,29 persen. Kelima, industri mesin dan perlengkapan mengalami pertumbuhan produksi 10,85 persen.
Suhariyanto menyebutkan empat subsektor industri manufaktur besar dan sedang mengecap penurunan produksi tertinggi pada 2018 terhadap tahun 2017. Salah satunya yaitu industri komputer, barang elektronik, dan optik turun 15,06 persen.
"Naik turunnya produksi tahunan subsektor industri manufaktur tersebut harus dilihat seberapa banyak permintaan dari pasar luar negeri. Untuk industri komputer, barang elektronik, dan optik, misalnya, kinerja ekspornya memang turun dari tahun 2017 menuju 2018," ujar dia.
Suhariyanto juga menyorot tajam kinerja produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan IV-2018, khususnya subsektor makanan. Subsektor industri makanan didapati terjadi penurunan pertumbuhan produksi 7,69 persen dibanding triwulan III-2018.
Pertumbuhan tahunan produksi subsektor industri manufaktur makanan skala besar dan sedang pun hanya naik 1,41 persen atau menjadi 7,40 persen dari tahun 2017 ke 2018.
Suhariyanto mengatakan, kinerja produksi industri manufaktur subsektor makanan berskala mikro dan kecil juga kurang menggembirakan. Sebagai ilustrasi, produksinya hanya naik 1,03 persen dari triwulan III-2018 ke triwulan IV-2018.
Pertumbuhan tahunan produksi subsektor industri manufaktur makanan skala mikro dan kecil pun hanya naik 2,56 persen atau menjadi 4,70 persen dari tahun 2017 ke 2018.
"Kontribusi subsektor makanan ini terhadap total produksi industri manufaktur keseluruhan mencapai sekitar 22-an persen. Dengan demikian, subsektor makanan memegang peranan penting. Apabila terjadi penurunan produksi, pemerintah semestinya segera menaruh perhatian," kata dia.
Suhariyanto menambahkan, pekerjaan rumah pemerintah sekarang adalah terus memperbaiki daya saing industri manufaktur dan meningkatkan kesejahteraan pelakunya.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M Habibullah, mengatakan, fluktuasi harga minyak kelapa sawit atau CPO menjadi penyebab utama penurunan produksi subsektor makanan, khususnya di industri manufaktur sedang dan besar, pada triwulan IV-2018.
"Kontribusi CPO terhadap kinerja subsektor industri makanan hampir 50 persen," tutur dia.
Hilirisasi
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho memiliki pendapat senada. Anjloknya produksi subsektor industri makanan dipengaruhi oleh hilirisasi kelapa sawit. Ini bisa dilihat dari kinerja produksi industri manufaktur besar dan sedang per provinsi.
Mengutip data BPS, provinsi-provinsi yang mengalami penurunan tertinggi pada tahun 2018 yaitu Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah.
Apabila dibandingkan triwulan IV-2018 terhadap triwulan III-2018, produksi industri manufaktur di Sumatera Selatan juga termasuk satu dari lima provinsi yang mengalami penurunan tertinggi.
"Sumatera Selatan dan Riau adalah daerah penghasil minyak kelapa sawit. Persoalannya sekarang adalah India sebagai tujuan utama ekspor memilih mengambil minyak kelapa sawit dari Malaysia. India menetapkan bea masuk minyak kelapa sawit Malaysia lebih rendah dibanding dari Indonesia," ungkap Andry.
Menurut dia, pemerintah Indonesia bisa mengupayakan perjanjian bilateral dengan India. Cara lainnya adalah Indonesia mencari alternatif pasar lain minyak kelapa sawit.
Strategi lainnya yang bisa diambil Indonesia adalah meningkatkan kualitas dan nilai tambah hilirisasi minyak kelapa sawit. Dengan demikian, Indonesia tidak melulu mengandalkan ekspor minyak kelapa sawit, tetapi ada produk nilai tambah dari hasil olahan minyak kelapa sawit. Misalnya, kosmetik dan peralatan kecantikan lainnya.
Tantangannya sekarang investasi ke sektor industri manufaktur sedang menunjukkan tren penurunan.
"Indonesia harus berani mengundang investor untuk memperbanyak aktivitas hilirisasi. Akan tetapi, tantangannya sekarang investasi ke sektor industri manufaktur sedang menunjukkan tren penurunan. Ini jadi pekerjaan rumah lagi bagi pemerintah," kata Andry.
Dia menekankan, pemerintah sebenarnya cukup menjaga konsistensi kebijakan agar investor sektor manufaktur tetap tertarik masuk Indonesia. Berikutnya, pemerintah berani memberikan insentif kepada investor yang sudah melakukan aktivitas hilirisasi.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman yang dihubungi terpisah, menjelaskan rata-rata bisnis pelaku industri makanan minuman masih tumbuh, walaupun profitabilitasnya makin tertekan.
"Produksi menyesuaikan permintaan pasar. Secara umum, kondisi produksi masih normal. Akan tetapi, situasi ritel produk makanan minuman berbeda karena ada beberapa pelaku melakukan rasionalisasi harga yang dipengaruhi konsumsi," tutur Adhi.