Sopiah (59), selonjoran di tumpukan kue keranjang, kue khas tradisi Imlek. Kue itu adalah jatah yang bisa dibawa pulang. Hari ini, ia menerima gaji Rp 3,5 juta untuk 18 hari kerja di tempat pembuatan kue keranjang milik Umar Sanjaya (Lauw Kim Liong), di Neglasari, Kota Tangerang.
“Saya sudah bekerja di sini sejak upah per hari Rp 200 rupiah. Emas waktu itu seharga Rp 2.000 per gram,” kata warga Desa Kiara Payung, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang ini, Minggu (3/2/2019).
Sopiah bersama 200 pekerja lainnya merupakan pekerja musiman yang bekerja dengan Umar Sanjaya. Umar merupakan salah satu penerus usaha kue keranjang milik almarhum Ny Lauw, pembuat kue keranjang tertua di Kota Tangerang.
Hari Raya Imlek adalah masa yang ditunggu Sopiah. Sebab, ini lah masa baginya untuk bisa sedikit bermewah-mewah. Di hari biasa, ia bekerja sebagai buruh tani di kampungnya. Sehari, ia hanya digaji Rp 40.000. Uang itu tandas untuk kebutuhan sehari-hari.
“Waktu saya mulai kerja di sini, bos (Umar) masih sekolah SD. Sampai sekarang saya masih betah. Penghasilannya mendingan daripada jadi kuli (sayur) kangkung di kampung,” kata Sopiah.
Sampai sekarang saya masih betah. Penghasilannya mendingan daripada jadi kuli (sayur) kangkung di kampong.
Ia mengaku betah bekerja di sini karena pemilik usaha menganggapnya sebagai keluarga. Waktu Ny Lauw masih hidup, Sopiah sering diberi buah pir. "Di kampung kamu pasti tidak ada buah itu,” kata Sopiah, mengenang perkataan Ny Lauw.
Sopiah bertugas membungkus keranjang berdiameter 10 sentimeter dengan daun pisang. Di keranjang itu, dituangkan adonan kue keranjang. Lalu, adonan itu dikukus selama 12 jam.
“Kami menyebut ini kue China. Kalau orang Jakarta menyebutnya kue keranjang. Ini banyak dibeli orang menjelang Imlek,” katanya sambil menyodorkan satu kue keranjang yang berbungkus daun pisang.
Kue itu terasa manis dan legit. Lazimnya, kue itu selalu hadir di meja masyarakat Tionghoa saat Hari Raya Imlek. Selain sebagai persembahan, kue ini juga dibagikan kepada kerabat.
Sardi (35), pekerja musiman kue keranjang yang mengurus bagian tungku kukus, berharap, gaji yang diterimanya kali ini bisa menebus janji kepada anak sulungnya.
“Sejak kemarin, anak saya yang paling tua minta dibelikan motor,” kata warga Pakuhaji, Kabupaten Tangerang ini.
Ia sedang menunggu giliran menerima gaji. Pada Imlek tahun kemarin, ia mendapat Rp 5 juta untuk 18 hari kerja. “Untuk tahun ini kemungkinan ada tambahan dari bos. Tetapi belum tahu tambahannya berapa,” kata Sardi.
Sardi berencana akan membeli motor bekas untuk anak sulungnya. Selain itu, empat anaknya yang lain sejak beberapa hari terakhir juga sudah mengajukan proposal untuk membeli sepatu sekolah.
“Meski hanya sekali setahun, pekerjaan ini membantu sekali. Kalau tidak, dengan apa saya memenuhi permintaan anak-anak,” katanya.
Meski hanya sekali setahun, pekerjaan ini membantu sekali. Kalau tidak, dengan apa saya memenuhi permintaan anak-anak.
Di hari biasa, Sardi bekerja sebagai buruh bangunan. Dia digaji Rp 100.000. Namun, pekerjaan itu tidak selalu ada setiap hari. Jika sedang nganggur, ia memutuskan untuk jadi pemulung. “Alhamdulillah anak-anak bisa mengerti. Sebab saya bekerja untuk mereka,” kata dia.
Lain lagi halnya dengan Husni (40), pekerja musiman di tempat pembuatan kue keranjang milik Lauw Kim Wie, kakak dari Umar Sanjaya. Kedua pengrajin ini sama-sama menjalankan usaha di Gang SPG, Neglasari, Kota Tangerang.
Setelah menerima gaji, ia berencana makan enak dengan anaknya yang bungsu. “Anak saya bosan karena makan dengan sambal terasi terus,” kata Husni.
Anak saya bosan karena makan dengan sambal terasi terus.
Di tempat ini, Husni diupah Rp 113.000 per hari. Dia sudah bekerja selama 20 hari di bagian membungkus kue keranjang dan membuat adonan.
Tidur selama 20 hari di dapur pembuatan kue keranjang, dia jalani demi mengumpulkan rupiah. Di hari biasa, ia menyambung hidup dengan bekerja sebagai pembuat kue bagi orang yang menggelar hajatan.
“Buat kue itu lamanya satu minggu, gajinya Rp 500.000, dibagi dua sama teman saya,” katanya.
Walhasil dari pekerjaan itu, hanya Rp 250.000 per minggu yang bisa dibawa pulang. “Kerja di perusahaan besar sudah tak mungkin. Sawah saya tidak punya. Sesekali saya ikut panen padi,” kata dia.
Di dua tempat pembuatan kue keranjang itu sudah terjual sebanyak 50 ton kue keranjang, dengan hasil penjualan sekitar Rp 2,25 miliar.
Kerja di perusahaan besar sudah tak mungkin. Sawah saya tidak punya. Sesekali saya ikut panen padi.
Jika disandingkan, jumlah yang bisa dibawa pulang pekerja musiman hanya sekian persen dari total penjualan. Akan tetapi, hal itu cukup mengobati keseharian mereka yang rutin. (INSAN ALFAJRI)