Cerita Warna Little India
Selalu ada cerita dari Singapura. Negara kota ini bak singa yang tak ada puasnya. Berlari kencang, memburu kemajuan. Kali ini, Singapura mengeksplorasi bentuk kekayaan lainnya: budaya.
Gedung dan bangunan besar dengan arsitektur modern nan kontemporer memang mengagumkan. Namun, kekaguman itu bisa jadi tidak bertahan lama. Begitu pula dengan keteraturan dan ketertiban, yang kadang-kadang memberikan kesan kaku dan buatan (artificial).
Barangkali begitu juga yang dirasakan banyak orang, termasuk di Singapura. Padahal, kunjungan, baik untuk berwisata maupun bisnis, merupakan salah satu andalan negara itu. Ada sesuatu yang terasa kurang dan coba untuk digenapi, yakni jiwa. Singapura mencarinya lewat budaya.
Singapura menyadari bahwa seni dan budayalah yang mampu memberikan jiwa. Didominasi oleh etnis China (70 persen), etnis terbesar sesudahnya adalah Melayu (19 persen) dan India (7 persen).
Setelah Kampung Glam sukses dan didatangi banyak orang, kini giliran Little India dan Tanjung Pagar yang mendapat sorot lampu. Dikemas sebagai bagian dari Singapore Art Week, Art Walk Little India 2019 mengangkat tema ”Image and Sound of Fragrance”.
Little India bukan cuma Mustafa, tempat belanja yang beroperasi 24 jam. Pemandu saat itu berpesan kepada peserta Art Walk untuk tidak lupa menajamkan setiap elemen panca indra saat blusukan di Little India.
Orang-orang India mulai datang ke Singapura untuk memenuhi kebutuhan tenaga kasar di bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan kira-kira pada periode 1820 hingga 1840-an. Kawasan yang mereka huni kini, dulunya dimaksudkan sebagai kompleks permukiman orang-orang Eropa yang gemar menonton pacuan kuda.
Kebutuhan terhadap tenaga kerja membuat gelombang kedatangan orang India bertambah. Pekerjaan tradisional orang India, seperti tampak pada mural karya Psyfool di Gang Belilios, adalah binatu, pembuat karangan bunga (garland), astrolog (yang menggunakan burung beo), penjual susu, dan penjaja makanan keliling.
Mural dihapus
Kawasan Little India dipenuhi oleh deretan rumah toko (shop house). Bagian bawah untuk usaha, lantai atasnya untuk hunian. Ketika program ini dimulai, kira-kira empat atau lima tahun lalu, ada lima mural yang dimintakan izin dibuat di dinding beberapa rumah toko.
Selesai acara, pemilik rumah langsung menghapusnya dengan cat putih. Hanya satu rumah yang mempertahankannya. Ternyata mural itu kerap didatangi orang. Tahun-tahun berikutnya, kembali dibuat mural, tetapi semakin banyak yang tidak dihapus. Para pemilik rumah senang lingkungan mereka ramai dikunjungi. Kini, ada 20 mural yang tersebar di lingkungan Little India.
Kunjungan ke Little India sebenarnya berawal di Galeri
UltraSuperNew di Jalan Rowell. Rombongan yang terdiri dari wartawan dan influencer dari sejumlah negara atas undangan Singapore Tourism Board (STB) ini kemudian menikmati galeri yang dinding bagian dalamnya berupa bata ekspose. Galeri ini dulunya rumah toko. Isinya karya instalasi patung, suara, dan video karya seniman setempat yang terkurasi. Sambil menikmati penganan ringan khas India, pengunjung galeri diajak menikmati dua tarian yang terpengaruh oleh tari dari selatan dan utara India.
Dari sini, peserta Art Walk kemudian diajak ke sebuah lapangan di Jalan Hindoo yang berisi patung-patung ternak berwarna-warni. Di seberangnya tampak rumah toko yang dindingnya berhias mural besar bergambar superstar India, Rajinikanth. Mural ini karya seniman Zero (Mohd Zulkarnaen bin Othman).
”Mural saya ini menghabiskan waktu berhari-hari dan baru selesai semalam karena tingkat kesulitannya tinggi dan saya sempat sakit. Saya harus membuat lingkaran besar dan itu tidak mudah,” kata Zero di dekat muralnya yang lain, berjudul ”Diff/Fusion”.
Rajinikanth terkenal di Singapura, terutama di kalangan warga keturunan India. Tokoh ini juga dijadikan materi cerita drama kecil yang digelar di lapangan tadi. Kisahnya, seorang Jepang dan seorang India yang sama-sama mengagumi Rajinikanth dan berebut tempat pentas. Cerita ini lalu jalin-menjalin dengan dua drama lanjutan yang digelar di dua spotberbeda.
Ketiga cerita ingin menggambarkan interaksi warga keturunan India antarsesama etnis dan dengan etnis lain, kehidupan keseharian mereka, serta majemuknya masyarakat Singapura dan betapa saling membaurnya antar-elemen budaya.
Kunjungan berikutnya adalah ke beberapa lokasi mural lain, tentu juga bertemu dua seniman mural, yakni Zero dan Song. Mural-mural yang dibuat merupakan hasil interpretasi kreatornya terhadap kehidupan di Little India. Dalam karya mural ”A Scent of Lights”, seniman Song terinspirasi aroma dupa yang mengambang di udara Little India.
Muralnya yang berlokasi di Jalan Clive didominasi oleh warna-warna antara lain emas, merah, dan ungu. Warna ungu terinspirasi dari lavender yang digunakan untuk aroma terapi, warna merah dari rempah, sedangkan warna emas dari perhiasan yang dipakai para perempuan India. ”Saya keliling Little India dan mural inilah hasil impresi saya terhadap daerah ini,” kata Song.
Dari satu lokasi mural ke lokasi lainnya, peserta Art Walk melewati deretan toko serta pedagang kaki lima yang berderet rapi dan bersih. Suara bising penjual dan pembeli yang dilewati lama-lama terdengar bak melodi di telinga. Aroma khas dari bebungaan, rempah, dan makanan menjadi ”santapan” selama perjalanan. Sementara mata dimanjakan pemandangan deretan toko yang menjual sayuran, buah-buahan, perhiasan, tekstil, tailor, hingga bubuk rempah menggunung.
Mampir sebentar untuk melihat bagaimana terampilnya para pria India membuat rangkaian bunga (garland) juga cukup menarik. Tiga bunga utama yang dipakai adalah mawar, marigold, dan melati. Setelah dirangkai, pembuatnya tidak boleh menyentuh rangkaian tersebut karena akan digunakan sebagai persembahan kepada para dewa. Itu sebabnya mereka menggunakan sarung tangan saat mengulurkan rangkaian bunga kepada pembeli.
Sebuah kuil Hindu yang megah dan Indian Heritage Centre masuk dalam rute saat itu. Tak ketinggalan Hotel Park 22 yang dulu lokasinya berseberangan dengan tempat pacuan kuda dan kandang kerbau. Tidak mengherankan jika jalannya bernama Jalan Kerbau.
”Pemerintah Singapura melarang warga mengubah fasad bangunan tua yang dihuninya. Warna cat bangunan juga diatur. Biasanya hanya boleh dua macam, yakni untuk dinding dan jendela,” ungkap Paul Chu, Manajer STB Indonesia.
Perayaan Pongal yang berlangsung sepekan sebelumnya menyisakan deretan lampu-lampu bergambar gerobak, ternak, dan petani yang terpasang melintang di atas jalanan sepanjang Serangoon Road, jalan utama di kawasan Little India. Perayaan ini sebagai tanda syukur atas datangnya panen.
Mengunjungi Little India tanpa narasi seperti ini barangkali akan terasa hambar. Hanya sekadar berfoto dengan latar belakang mural yang cantik dipamerkan di media sosial. Namun, malam itu kami menuntaskan perjalanan budaya di Little India dan pulang dengan cara pandang baru.