Iran Kian Pengaruhi Lebanon
Setelah terseok-seok selama sembilan bulan dan terpasung oleh alotnya perundingan di antara kekuatan politik besar, Pemerintah Lebanon akhirnya terbentuk. Perdana Menteri Lebanon terpilih, Saad al-Hariri, Kamis (31/1/2019) malam, akhirnya mengumumkan pemerintahan baru.
Sulitnya pembentukan pemerintahan baru Lebanon itu tak terlepas dari pertarungan asing, khususnya Iran, Arab Saudi, Perancis, dan Amerika Serikat, untuk mendapat kue pengaruh terbesar atas pemerintahan baru.
Sejak memperoleh kemerdekaan dari Perancis tahun 1943, Lebanon, negeri kecil dengan sekitar 6 juta penduduk dan miskin kekayaan alam, tampaknya memiliki nasib selalu menjadi rebutan pengaruh negara besar, baik regional maupun internasional.
Perancis memiliki pengaruh besar atas Lebanon sejak memberi kemerdekaan tahun 1943 hingga 1950-an. Suriah mulai menancapkan pengaruh di Lebanon pada 1960-an. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sempat pula mengontrol Lebanon sejak PLO keluar dari Jordania dan pindah ke Lebanon pada 1970 hingga keluarnya PLO dari Lebanon tahun 1982.
Sejak 1982, Lebanon di bawah kontrol penuh Suriah hingga keluarnya Suriah dari Lebanon pada 2005 menyusul tewasnya mantan PM Lebanon, Rafik al-Hariri, pada tahun itu. Setelah tahun 2005 hingga saat ini, Lebanon menjadi ajang perebutan pengaruh antara Iran dan Arab Saudi.
Loyalis
Iran memiliki pijakan kaki politik di Lebanon melalui kekuatan politik loyalisnya yang tergabung dalam kubu 8 Maret, seperti Hezbollah, Gerakan Amal, dan Gerakan Pembebasan Patriotik (FPM).
Arab Saudi punya pijakan kaki politik di Lebanon melalui kekuatan politik loyalisnya yang tergabung dalam kubu 14 Maret, seperti Gerakan Masa Depan (FM), Kekuatan Lebanon (LF), Partai Sosial al-Henchacg, dan Partai Kataeb.
Berlarut-larutnya pembentukan Pemerintah Lebanon hingga memakan waktu sembilan bulan itu adalah cermin dari pertarungan sengit antara kubu 14 Maret dan kubu 8 Maret. Pemerintahan baru Lebanon itu terdiri atas 30 menteri.
Sebagian besar menteri berasal dari kekuatan-kekuatan politik besar, terutama dari Kubu 8 Maret yang pro-Iran dan kubu 14 Maret yang pro-Arab Saudi. Namun, kubu loyalis Iran tampak berada di atas angin dalam pertarungan berebut kue strategis dalam komposisi pemerintahan baru.
PM Lebanon terpilih, Saad al-Hariri, yang dikenal loyalis Arab Saudi dan pemimpin kubu 14 Maret, praktis tak berkutik menghadapi tiga loyalis Iran di Lebanon, yaitu Hezbollah, Gerakan Amal, dan FPM.
Hal itu bisa dilihat dari komposisi kabinet pemerintahan baru Lebanon, di mana posisi strategis dipegang kubu 8 Maret, seperti menteri luar negeri, menteri pertahanan, menteri keuangan, dan wakil perdana menteri. Menlu Lebanon tetap dijabat Gebran Bassil yang juga Ketua FPM. Menhan dijabat Elias Bou Saab dari FPM, dan Menteri Keuangan dijabat Ali Hassan Khalil dari Gerakan Amal.
Adapun Hezbollah meraih tambahan kursi kabinet dari dua kursi menjadi tiga kursi. Pada pemerintahan lalu, Hezbollah mendapat kementerian perindustrian dan pemuda, kini meraih lagi kementerian kesehatan.
Hezbollah ngotot mendapat kursi kementerian kesehatan, menyusul bantuan dana kesehatan dan sosial dari Iran kepada Hezbollah menurun drastis setelah sanksi AS atas Iran pada November lalu. AS sempat menentang kursi kementerian kesehatan diserahkan kepada Hezbollah, tetapi PM Saad al- Hariri tak berdaya menghadapi tekanan kubu 8 Maret.
Sementara kubu 14 Maret, loyalis Arab Saudi, hanya mendapat satu posisi kabinet penting, yaitu kementerian dalam negeri. Jabatan mendagri akan berada di pundak politisi asal Gerakan Masa Depan pimpinan PM Saad al-Hariri.
Dari komposisi kabinet pemerintahan baru itu, kebijakan luar negeri, pertahanan, dan keuangan Lebanon akan dikontrol Iran melalui kaki politiknya, yakni kubu 8 Maret.
Dengan kata lain, pihak yang memegang senjata di Lebanon saat ini adalah kubu loyalis Iran, yakni FPM. Partai itu mengontrol Kementerian Pertahanan dan Hezbollah sebagai kekuatan militer terbesar di Lebanon di luar militer resmi.
Kecenderungan
Di negara dunia ketiga mana pun, khususnya negara-negara Arab, pihak yang memegang senjata adalah penguasa hakiki di negara itu. Di Lebanon, Hezbollah sering bisa mendikte kebijakan politik karena ia memegang senjata.
Dari komposisi kabinet baru itu sudah bisa dibaca, Lebanon dalam pertarungan geopolitik di Timur Tengah saat ini cenderung miring ke poros Iran-Suriah. Lebanon, misalnya, akan memperjuangkan kembalinya Suriah ke organisasi Liga Arab. Damaskus bisa ikut serta dalam KTT Liga Arab di Tunisia, Maret depan.
Sebaliknya, ketegangan Israel-Lebanon setiap saat akan meningkat, menyusul menguatnya kehadiran Hezbollah dalam percaturan politik di Lebanon setelah pembentukan pemerintahan baru.
Adapun Arab Saudi praktis mengalami banyak kerugian secara politik setelah PM Saad al- Hariri terpaksa banyak memberi konsesi kepada Hezbollah dan FPM demi terbentuknya pemerintahan baru setelah terseok-seok selama sembilan bulan.