Jangan Tinggalkan Kemanusiaan Anda
”Banyak manusia yang tercerabut kemanusiaannya. Kita menjadi lebih sedih karena kita mempunyai sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,” kata Gus Mus dalam pameran Manusia dan Kemanusiaan di Oei Hong Djien Museum, Magelang, 26 Januari-15 April 2019.
Begitu masuk OHD Museum di Jalan Jenggolo, Magelang, Jawa Tengah, mata akan tertohok tiga sosok, yakni Gus Dur, Bung Karno, dan Ngarso Dalem Sultan Hamengkubuwono IX. Mereka dalam posisi berdiri di awang-awang. Itulah ”Orang Suci Moksa” lukisan karya F Sigit Santosa.
Ada kejutan visual di mana setiap tokoh dilepaskan dari atribut kebesaran. Gus Dur dan Bung Karno ngligo, aliastanpa baju. Gus Dur bercelana kolor, dan Bung Karno memakai celana tidur, Ngarso Dalem mengenakan singlet, menggunakan bebed atau kain motif parang gurda.
Posisi di awang-awang itu mengingatkan pada ”Christ of Saint John of the Cross”-nya Salvador Dali. Akan tetapi, pada karya ini, Sigit Santosa merujuk pada gagasan tentang moksa. KBBI menyebut moksa sebagai: tingkatan hidup lepas dari ikatan keduniawian. Sigit memaknai sebagai ”Kembali murni. Lepas dari identitas diri”. Lewat sosok tokoh, Sigit juga menyampaikan identitas kemerakyatan.
Lukisan itu dibuat dalam waktu berbeda, dengan ukuran berlainan pula. Lukisan Gus Dur dikerjakan Sigit pada 2013, sedangkan lukisan Bung Karno dan HB IX dikerjakan pada 2017. Dalam pameran tiga karya terpisah itu disandingkan pada satu dinding. Tokoh-tokoh nasionalis tersebut diberi bingkai, dimaknai, dan menjadi semacam penegasan sikap akan keindonesiaan, kemerakyatan, dan ke-manusia-an.
”Pikiran dan tindakan tiga sosok itu sangat monumental dalam konteks manusia dan kemanusiaan,” kata Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran ini.
Gus Dur—panggilan populer KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI—dikatakan Suwarno, selalu memperjuangkan toleransi. Soekarno, proklamator kemerdekaan RI, menggelorakan nasionalisme, persatuan Indonesia. Sultan HB IX sejak awal juga menomorsatukan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Balada negeri
Seperti kumpulan puisi WS Rendra, Balada Orang-orang Tercinta, dalam pameran Manusia dan Kemanusiaan hadir manusia-manusia yang ikut mewarnai kehidupan negeri dengan segala kiprah, pemikiran, dan perjuangan untuk kemanusiaan.
Misalnya karya G Djoko Susilo berjudul ”Romo Mangunwijaya”. Dalam satu lukisan tampak Romo Mangun, Gus Dur, Emha Ainun Nadjib, Bunda Teresa, Rendra, Iwan Fals, Mahatma Gandhi, Nurcholis Madjid, dan Mudji Sutrisno. Juga ”Batara Guru Republik Indonesia” yang berupa prangko bergambar Gus Mus (KH Mustofa Bisri), kemudian lukisan bertajuk ”KH Hasyim Ashari” dan ”Affandi”.
Ditampilkan pula pejuang kehidupan yang gagah seperti digambarkan Kwee Ing Tjong dalam ”Pengamen Gombloh” (1998), pengamen tua yang jejak tangguhnya terekam dalam kerut wajah renta, tulang pipi cekung, dan gitar kopong penyambung penghidupan. Juga tentang ”Pak Prawiro Petani Tembakau”(1998) dengan lipatan-lipatan kulit sebagai saksi ketekunan hidup bertani di negeri tropis.
Terekam juga jerit manusia dalam patung perunggu Dolorosa Sinaga, ”Monumen Tsunami” 2004. Sosok perempuan berdiri khusyuk, wajah menengadah, ekspresi muka dan mulut berteriak. ”Ia mencoba menyapa Sang Khalik,” kata Dolorosa Sinaga.
Atau juga kepala-kepala dengan mulut menganga dalam patung tanah liat karya Dadang Christanto yang berjudul”Kekerasan III” .
Manusia ”jenis” lain dalam pameran ini digambarkan secara karikatural oleh Jitet Kustana dalam ”Keadilan Sosial”. Dengan daya naive art, Jitet menampilkan bocah kurus berperut buncit, dengan tulang iga seperti ranting kering. Tangan bocah itu menggapai tangan gerombolan di atasnya.
Tangan-tangan menggapai itu mengingatkan pada ”Creazione di Adamo” (Penciptaan Adam) karya Michaelangelo. Dalam karya Jitet, tangan bocah kurus itu menggapai tangan badut-badut tikus berjas-dasi, dengan gigi tajam, lidah bercabang memuntahkan kerangka ikan yang dilahap, dalam suatu pesta pora.
Manusia itu juga seorang ibu berpakaian compang-camping, menjahit, dan menambal payungwarna-warni yang koyak-moyak, ”Payung itu pelindung. Warna-warni itu kenyataan penduduk Indonesia. Dalam bayangan saya, ia adalah Ibu Pertiwi dengan ketulusannya rela melakukan apa saja untuk negerinya,” kata Jitet.
Ada pula manusia penebar hoaks yang oleh Butet Kartaredjasa diungkapkan dalam karya keramik berupa kepala manusia terbelah vertikal, dari mulutnya keluar ular. Judul ”Ajining Diri Seka Hoaks”, merupakan pelesetan dari kata bijak Jawa ajining diri gumantung seka lathi, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya.
Lintas iman
Pameran Manusia dan Kemanusiaan yang dibuka Mahfud MD itu menghadirkan karya Nasirun, Dolorosa Sinaga, Jitet Kustana, Goenawan Mohamad, Mustofa Bisri, Djoko Susilo, Handojo Simodihardjo, Butet Kartaredjasa, Ong Hari Wahyu, Dadang Christanto, Sigit Santosa, Franziska Fennert, Affandi, Hendra Gunawan, Widayat, dan Soedibyo.
Pertimbangan kuratorialnya adalah varian bahasa rupa, dan keberagaman bahasa ekspresi. Juga pertimbangan lintas iman. ”Kami percaya, seni ada di seluruh iman,” kata Suwarno.
Pameran semacam ini, menurut Oei Hong Djien, perlu dilanjutkan. ”Sebab, memang sangat relevan dengan zaman now,” kata OHD dalam katalog pameran.
Dalam pandangan kurator, peristiwa seni rupa ini menunjukkan bahwa seniman dapat berperan dalam merayakan dan memuliakan manusia dan kemanusiaan demi kehidupan yang lebih beradab. ”Karya dalam pameran ini bertitik tolak dari hasrat untuk menyampaikan suara hati terkait kekuasaan, kebohongan, kekerasan, kemunafikan, keculasan, dan ambisi untuk menelikung, menyingkirkan sang liyan,” kata Suwarno.
Pesan Gus Mus dalam pembukaan terngiang kembali, ”Jangan tinggalkan diri Anda sebagai manusia. Jangan tinggalkan kemanusiaan Anda”.