Kerusakan daerah aliran sungai diakui sebagai penyebab banjir dan longsor, selain faktor curah hujan tinggi.
MANADO, KOMPAS — Jumlah korban meninggal akibat banjir dan longsor di Manado, Sulawesi Utara, menjadi empat orang menyusul penemuan jenazah Surya Ekajaya Lahamendu (29) oleh tim SAR Manado. Jenazah Surya hanyut di Sungai Bailang, Kecamatan Bunaken Daratan, Jumat lalu.
Surya terseret air Sungai Bailang saat melompat dari perahu ketika air sungai mengalir deras. ”Kami temukan jenazahnya mengapung di laut,” kata Verry Arianto dari Humas Tim SAR Manado, Sabtu (2/2).
Sebelumnya, tiga orang ditemukan meninggal di Manado, yakni Nathalia Lapian (1), Jonh Duarmas (45), dan Richard Patombone (5).
Warga Kota Manado berharap hujan tak lagi turun setelah banjir dan longsor Jumat lalu itu. Curah hujan di ”Kota Kawanua” itu sepanjang Sabtu dari pagi hingga malam tergolong rendah. Sebagian gerimis.
Kemarin, warga korban banjir kembali ke rumah sambil membersihkannya dari genangan. Beberapa warga menyedot air yang tergenand di rumah menggunakan mesin sewaan.
Warga cemas ketika pukul 10.00 langit mendung dan gerimis. ”Saya berdoa hujan berhenti. Anak saya sangat takut banjir lagi,” kata Kadio Neyland (30), warga Tuminting.
Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey didampingi Sekretaris Provinsi Edwin Silangen di Posko Bencana Pemprov Sulut, Sabtu petang, mengatakan, 8 dari 11 kecamatan di Manado terdampak banjir dan longsor, meliputi 20 kelurahan. Sebanyak 2.805 orang mengungsi.
Delapan posko pengungsian didirikan Pemprov Sulut dan Pemkot Manado di sejumlah gereja dan masjid serta sekolah. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sulut Joi Oroh mengatakan, sejak Sabtu telah disalurkan 10.000 paket makanan ke lokasi pengungsian.
Wali Kota Manado Vicky Lumentut mengatakan, curah hujan tinggi penyebab banjir. Air tertahan di sejumlah saluran pembuangan menuju pantai. ”Kami sudah memperbesar drainase dan saluran air di sejumlah kawasan, tetapi masih banjir. Saluran air juga dipenuhi sampah plastik,” katanya.
Banjir Aceh Tenggara
Di Kutacane, Wakil Bupati Aceh Tenggara Bukhari mengatakan, sesuai perhitungan jajarannya, banjir bandang dari September 2018 hingga Januari 2019 membawa dampak kehancuran setara Rp 105 miliar.
Angka itu akumulasi dari kerusakan infrastruktur, rumah penduduk, lahan pertanian, dan sarana pendidikan.
Degradasi lingkungan, seperti kerusakan daerah aliran sungai dan hilangnya tutupan hutan, kata Bukhari, memicu banjir bandang. Intensitas banjir luapan dan bandang di Aceh Tenggara kian sering terjadi.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Aceh Tenggara Dicky Danu Wijaya mengatakan, dari November 2018 hingga Januari 2019 terjadi lima kali banjir luapan dan bandang. Daerah yang kerap dilanda banjir adalah Kecamatan Badar, Ketambe, Leuser, dan Darul Hasanah. Tahun lalu, Kecamatan Lawe Sigala-gala, Seumadam, dan Babul Makmur juga diterjang banjir bandang.
Menurut Direktur Forum Konservasi Leuser (FKL) Rudi Putra, kerusakan hutan di Aceh Tenggara menjadi pemicu utama banjir bandang. Pada 2018, FKL mencatat, tutupan hutan di Aceh Tenggara berkurang seluas 1.000 hektar. Pembukaan hutan untuk perkebunan dan penebangan liar memperburuk daya dukung lingkungan.
Sesuai pantauan FKL, pada 2018 ditemukan 233 perambahan hutan dan 266 kasus penebangan liar di Aceh Tenggara dengan volume kayu 641,92 meter kubik. (ZAL/AIN)