Menanti Emas Hijau Kembali Berkilau
Rempah-rempah Nusantara pernah mencapai puncak keemasan di masa lalu. Bangsa-bangsa asing dari berbagai belahan dunia memperebutkannya. Harganya sempat melebihi harga emas, sehingga tak jarang ada yang menyebutnya emas hijau. Akankah emas hijau kembali berkilau?
Rempah-rempah Nusantara pernah mencapai puncak keemasan pada masa lalu. Bangsa-bangsa asing dari berbagai belahan dunia memperebutkannya. Harganya sempat melebihi harga emas sehingga tak jarang ada yang menyebutnya emas hijau. Akankah emas hijau kembali berkilau?
Sejarah perjalanan perdagangan rempah Nusantara salah satunya dapat kita telusuri di Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia (Munasain), museum yang berlokasi di Jalan Ir H Juanda Nomor 22-24, Kota Bogor, Jawa Barat.
Sejak Mei 2018, salah satu bagian dari museum yang dikembangkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu telah mulai memamerkan perjalanan sejarah rempah-rempah Nusantara.
Memasuki bagian tengah ruangan yang menjadi tempat pameran, tampak terlihat bola dunia dan miniatur kapal pinisi yang dikelilingi rempah-rempah, seperti biji pala, cengkeh, masoi, kunyit, kapulaga, dan kluwek. Rempah-rempah ini diletakkan di dalam karung goni.
Maka, tidak heran, aroma khas rempah langsung merasuk ke hidung saat memasuki ruangan tersebut.
Tak hanya itu, di sisi kiri ruangan, pengunjung museum seolah dibawa masuk ke dalam garis waktu perjalanan perdagangan rempah.
Di sana bisa terlihat, penggunaan rempah diawali di Mesir sekitar abad ke-35 sebelum Masehi (SM). Kala itu, masyarakat Mesir menggunakan berbagai rempah-rempah untuk bumbu makanan, kosmetik, dan pengawet mayat.
Peran pedagang
Dalam perkembangannya, rempah-rempah semakin diminati, bahkan memainkan peran penting dalam peradaban manusia.
LIPI mencatat, bangsa Arab dan bangsa Kanaan atau Fenisia (sekitar Lebanon) menjadi yang pertama memperkenalkan rempah-rempah dari Asia ke Benua Eropa pada abad ke-3 SM.
Di luar Eropa, peran pedagang China dan India besar pula dalam memperdagangkan rempah-rempah tersebut ke berbagai belahan dunia.
Mayoritas rempah-rempah ini berasal dari Nusantara. Cengkeh dan pala, misalnya, dipercaya merupakan tanaman asli Nusantara yang tumbuh di Kepulauan Maluku (saat ini Provinsi Maluku dan Maluku Utara).
Baca juga : Membaca Jejak Kolonialisme Lewat Cengkeh Afo (1) dan Membaca Jejak Kolonialisme lewat Cengkeh Afo (2)
Cengkeh dipercaya berasal dari lima pulau kecil di Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Setidaknya, hingga periode modern, cengkeh hanya tumbuh di sana. Hingga kini, pohon cengkeh tertua, afo, masih bisa dilihat di Ternate.
Sementara pala dipercaya berasal dari pulau-pulau kecil di tengah Laut Banda, Maluku bagian selatan, sekarang masuk ke wilayah Provinsi Maluku.
Adapun lada, sekalipun dipercaya berasal dari India, justru tumbuh subur di Nusantara setelah bibit-bibit lada itu dibawa dari India dan ditanam di Nusantara. Pasril Wahid dalam Monograf Tanaman Lada menyebutkan, hanya hingga abad ke-16, India menjadi penyumbang utama produksi lada dunia. Setelah itu, Indonesia mengambil alih. Menurut Pasril, selain faktor kesesuaian tanah dan iklim, Belanda juga berperan mendongkrak produksi lada Indonesia.
Magnet dunia
Cengkeh, pala, dan lada itulah yang menurut hasil penelitian para periset LIPI, paling diburu bangsa-bangsa Eropa sekitar abad ke-10.
Tidak mudah kala itu bagi mereka untuk menemukan sumber rempah karena para pedagang yang mengetahuinya sengaja merahasiakannya.
Selanjutnya, ketika bangsa-bangsa Eropa menemukan mayoritas sumber rempah tersebut berada di Nusantara, mereka berlomba-lomba untuk bisa menguasai dan memonopolinya. Tak lain agar harga rempah-rempah tetap tinggi sehingga bisa membawa keuntungan berlipat-lipat untuk mereka.
Cengkeh dan pala, khususnya, harganya bahkan sempat melebihi harga emas saat itu. Des Alwi, tokoh masyarakat Banda, Maluku, dalam buku Sejarah Banda Naira terbitan Pustaka Bayan (2010) mengisahkan, hasil monopoli pala oleh Belanda yang harganya lebih mahal daripada emas kala itu digunakan Belanda untuk membangun kota Amsterdam dan Rotterdam.
Sekalipun rempah-rempah ini memiliki sejarah panjang dan penting untuk diketahui generasi penerus, salah satu peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga pengurus Munasain, Dian Komara, saat dihubungi Kompas, Minggu (3/2/2019), mengatakan, pameran rempah-rempah tersebut di Munasain hanya bersifat sementara.
”Pameran rempah ini sudah berlangsung dari Mei 2018. Nantinya akan digantikan pameran lain agar para pengunjung tidak bosan,” katanya.
Baca juga : Ironi Lada
Berjaya kembali
Terlepas dari hal itu, Eko Ujiyono (42), salah satu pengunjung Munasain asal Bogor, terkesan dengan pameran tersebut. Dia pun berharap agar kejayaan rempah-rempah di masa lalu bisa dikembalikan.
”Pemerintah harus terus mengupayakan agar rempah-rempah Indonesia kembali jaya karena potensi itu masih ada dan sangat besar,” ujarnya.
Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan, rempah-rempah sebenarnya masih masuk dalam sepuluh komoditi potensial.
Laporan Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kemendag Tahun 2017 menunjukkan, komoditas rempah Indonesia memiliki daya saing yang cukup baik di pasar global.
Pada 2015, Indonesia menduduki peringkat ke-4 eksportir rempah dunia dengan pangsa 8,8 persen, berada di bawah India, Vietnam, dan Tiongkok.
Selain itu, rempah Indonesia masih menjadi salah satu komoditas yang mencatatkan surplus neraca perdagangan luar negeri sebesar 801,1 juta dollar AS di 2015.
Secara keseluruhan, lada, kayu manis, dan pala merupakan kontributor utama ekspor Indonesia. Pangsa masing-masing komoditi ini sebesar 62,8 persen; 12,4 persen, dan 11,9 persen dari total ekspor rempah Indonesia di tahun 2015.
Sebagai arsitektur yang juga terlibat aktif dalam berbagai kegiatan lingkungan, Eko menambahkan, pemerintah harus lebih mengedukasi para petani serta pelaku usaha kecil dan menengah untuk memproduksi turunan rempah-rempah. Melalui cara ini, menurutnya dapat lebih meningkatkan harga jual yang akhirnya dapat menyejahterakan masyarakat.
”Jangan sampai rempah-rempah kita dimuliakan di negara lain, sementara di sini tidak dikembangkan dengan maksimal yang akhirnya kurang berdampak bagi perekonomian kita,” kata Eko.
Dalam rilis Hari Lada 2018 (22 November 2018), tercatat produksi lada Indonesia pada 2017 sesuai data Organisasi Lada Internasional atau International Pepper Community (IPC) adalah 70.000 ton dengan pangsa pasar 13 persen. Sebanyak 42.000 ton lada diekspor dan menyumbangkan devisa bagi ekspor nonmigas Indonesia senilai 236 juta dollar AS.
Keadaan ini membuat Indonesia menjadi negara produsen terbesar kedua setelah Vietnam. Namun, khusus lada putih, Indonesia berada di atas Vietnam. Produksi lada putih Indonesia sebanyak 40.000 ton, nomor satu di dunia dengan pangsa pasar 37 persen. Sementara produksi lada putih dari Vietnam hanya sekitar 25.000 ton.
Salah satu keunggulan lada Indonesia, memiliki sertifikasi Indikasi Geografis, yaitu lada putih Muntok dan lada hitam Lampung.
”Saat ini Indonesia baru menyuplai 13 persen produksi lada global. Langkah-langkah konkret dirancang dan diimplementasikan untuk membangun sektor lada Indonesia agar mendukung cita-cita negara untuk mengembalikan kejayaan rempah,” ujar Staf Ahli Menteri Perdagangan Bidang Hubungan Internasional, Dody Edward dalam rilisnya.
Baca juga : Lika-Liku Pala Maluku Menembus Pasar Eropa
Kembali berjaya bukanlah takdir yang tinggal menunggu waktu, tetapi sebuah pilihan. Kembali menjadi Emas Hijau Nusantara, berarti siap berdaya saing melalui komitmen dan usaha bersama. (SHARON PATRICIA)