Mencegah Obesitas, Membangun Peradaban
Obesitas adalah buah dari keberhasilan pembangunan. Meningkatnya kesejahteraan membuat manusia hidup dalam kondisi berkelimpahan dan makin malas bergerak. Gaya hidup urban, globalisasi dan ‘rongrongan’ industri makanan dan minuman akan membuat penderita obesitas terus melonjak.
Selama ini, obesitas jadi masalah kesehatan serius di negara-negara maju dan makmur. Namun kini, obesitas terus melonjak di negara-negara berkembang. Demikian pula di Indonesia. Obesitas mengancam siapapun tanpa pandang status ekonomi, tempat tinggal, umur atau jenis kelamin.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ada 1,9 miliar orang dewasa, 41 juta balita dan 340 juta anak dan remaja kelebihan berat badan dan obesitas pada 2016. Jumlah penderita obesitas itu naik tiga kali lipat dibanding tahun 1975.
Situasi serupa terjadi di Indonesia. Jika pada 2007 sebanyak 1 dari 10 orang dewasa obesitas, pada 2018 atau 11 tahun kemudian jadi 2 dari 10 orang. Bahkan di Sulawesi Utara dan DKI Jakarta, 3 dari 10 orang dewasa obesitas.
Jumlah itu akan terus naik seiring meningkatnya pendapatan masyarakat, perubahan gaya hidup, dan urbanisasi. Diperkirakan 60 persen penduduk Indonesia akan ada di wilayah perkotaan pada 2025.
“Kaum urban di negara berkembang paling rentan terhadap obesitas,” tulis Asit K Biswas dan Kris Hartley di The Conversation, 5 Desember 2017. Urbanisasi ini akan jadi tantangan besar di banyak negara berkembang, khususnya di Asia dan Afrika.
Berubah
Selama ribuan tahun evolusi, manusia mampu mempertahankan berat badan yang sehat. Kondisi itu adalah buah dari interaksi genetik dengan lingkungan dan gaya hidup yang dibangun manusia. Variasi genetik memang ada hingga membuat seseorang lebih mudah gemuk atau kurus dibanding yang lain.
Namun, beberapa dekade terakhir berubah. Membaiknya kesejahteraan, makanan yang melimpah dan banyaknya kemudahan hidup membuat obesitas meningkat pesat. Cepatnya perubahan itu membuat para ahli yakin perubahan lingkungan dan ketidakseimbangan biologi tubuh lebih jadi pendorong utama obesitas dibanding perubahan gen.
Penyebab obesitas pada individu sangat beragam. Presiden Himpunan Studi Obesitas Indonesia Dante Saksono Harbuwono menyebut beberapa penyakit memang bisa buat seseorang lebih mudah obesitas, seperti gangguan metabolik yang membuat tubuh lebih lambat membakar kalori, gangguan hormon, hingga konsumsi obat tertentu. (Kompas, 12/1/2019)
Namun secara sederhana, obesitas dipicu oleh jumlah asupan energi yang melebihi dari energi yang digunakan. Ketidakseimbangan energi itu dipengaruhi oleh pola makan dan aktivitas fisik seseorang.
Diet tinggi lemak dan kalori membuat seseorang mudah gemuk. Namun keragaman jenis makanan, seperti yang dikonsumsi nenek moyang kita saat masih berburu dan meramu, juga penting karena mempengaruhi keragaman jenis bakteri di usus. Orang gemuk memiliki jumlah spesies bakteri usus lebih sedikit dibanding yang kurus.
Keragaman makanan itu jadi tantangan kaum urban akibat keterbatasan bahan pangan yang ada di pasaran. Selera makan mereka serta standar enak pun banyak dibentuk oleh citra yang dibangun industri. Belum lagi kemiskinan yang membuat akses masyarakat ke makanan beragam lebih sulit.
Perubahan pola makan itu terjadi seiring berubahnya gaya hidup masyarakat yang membuat mereka makin malas bergerak. Jalan kaki makin dianggap sebagai aktivitas yang perlu dikasihani. Sepeda motor juga kian digemari karena murah dan bisa menghubungkan antartempat dengan aktivitas fisik minim. Buruknya transportasi publik membuat ojek sepeda motor daring masuk hingga ke kota-kota kecil.
Selain membuat kurang gerak, sistem transportasi yang bertumpu pada kendaraan pribadi juga meningkatkan potensi polusi udara. Padahal, polusi udara terbukti meningkatkan risiko obesitas.
Pada saat bersamaan, teknologi membuat orang malas bergerak di rumah yang ukurannya makin mengecil. Gawai, televisi, pengendali jarak jauh (remote control), hingga pendingin ruang membuat orang betah berjam-jam duduk di tempat yang sama.
Pembangunan kota yang tak terencana juga mendorong obesitas. Lahan bermain dan lapangan olahraga makin sulit ditemukan. Belum lagi faktor keamanan udara yang membuat orang makin malas beraktivitas di luar ruang.
Peradaban
Kompleksnya persoalan obesitas membuat pencegahannya tidak bisa hanya diserahkan ke masyarakat sebagai upaya kesehatan personal. “Negara harus hadir,” tegas Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Darmawan.
Upaya promosi dan pencegahan obesitas perlu diperkuat pemerintah. Sejak pelaksanaan program jaminan kesehatan dalam berbagai bentuk, upaya pengobatan atau kuratif bisa memakan hingga 85 persen dari anggaran kesehatan pemerintah. Sedang upaya promosi dan pencegahan penyakit, bisa kurang dari 10 persen.
Hamam Hadi dalam Jurnal Gizi Klinik Indonesia, November 2004 menulis dengan terbatasnya sumberdaya dan anggaran kesehatan pemerintah, maka upaya promosi dan pencegahan penyakit harus dijalankan simultan dengan upaya pengobatan dan rehabilitasi.
Di negara maju, sumberdaya pelayanan kesehatan sudah tak mampu menangani semua kasus obesitas dan penyakit terkait, seperti diabetes, jantung, stroke, hingga kanker. “Tanpa program pencegahan efektif, sumberdaya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia akan segara habis untuk pengobatan obesitas dan penyakit degeneratif lain yang relatif mahal dan butuh teknologi canggih,” tulisnya.
Upaya promosi dan pencegahan obesitas itu perlu dilakukan bersamaan dengan penyediaan produk pangan berkualitas dan beragam dengan harga terjangkau, pengaturan ketat dan tegas hingga pengenaan cukai terhadap gula, garam dan lemak, hingga mengkampanyekan kembali aneka pangan lokal.
Pada saat bersamaan, pembangunan infrastruktur bagi masyarakat untuk beraktivitas fisik di luar ruang, seperti taman bermain dan lapangan olahraga, perlu dilakukan sebagai bagian dari pembenahan tata kota. Demikian pula perbaikan sistem angkutan publik dan pedestrian yang juga berperan untuk membangun peradaban masyarakat.
Semua pencegahan obesitas itu butuh peran pemerintah dan tokoh politik dari pusat hingga ke daerah. Semakin lama masyarakat dibiarkan berjuang sendiri melawan obesitas, kerugian yang dihadapi negara makin besar.
Arnati Wulansari dkk dalam Jurnal Gizi Pangan, Juli 2016 menyebut kerugian akibat obesitas mencapai Rp 78,478 triliun per tahun, baik untuk biaya rawa jalan, rawat inap, hingga hilangnya produktivitas akibat tidak masuk kerja atau kematian dini.
Meski berat, kesadaran masyarakat mencegah obesitas adalah kunci. Kesehatan memang anugerah, namun juga harus diusahakan. Tanpa itu, kelimpahan dan kesejahteraan yang diperoleh masyarakat sebagai buah dari pembangunan hanya akan jadi pisau yang melukai diri sendiri.