Menikmati Lukisan Bisa Bergerak
Salah satu cara baru menikmati lukisan adalah dengan memanfaatkan aplikasi gawai yang membuat obyek lukisan bisa bergerak- gerak. Ini yang ditawarkan seniman I Putu Adi Suanjaya (25) asal Bali—kini menetap di Yogyakarta—dalam pameran tunggal perdana Kaum Mata Kancing di Kopikalyan, Jakarta. Pameran berlangsung 18 Januari hingga 9 Februari 2019.
Kurator pameran, Ary Indra, juga seorang arsitek sekaligus penggagas ide penerapan aplikasi gawai untuk pameran lukisan itu. Nama aplikasinya Ars, dirancang oleh Jonathan Aditya pada 2017.
”Selama ini publik menikmati lukisan, kemudian bisa langsung menyimpulkan suka atau tidak. Lukisan ternyata bisa dinikmati justru dengan imajinasi yang tidak terbatas melalui aplikasi gawai ini,” kata Ary menjelang pembukaan pameran.
Ary mempraktikkannya. Ia memotret sebuah lukisan dengan gawainya. Kemudian, di layar gawai terpampang foto lukisan yang tidak lagi diam. Bagian tertentu pada obyek lukisan itu ternyata bergerak- gerak. Lukisan itu berjudul ”Life is about Challenge” berukuran 100 cm x 80 cm.
Figur boneka jadi karakter khas karya Putu Adi Suanjaya. Di layar gawai terlihat kedua kaki figur lukisan itu bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan, seperti menari.
Pada lukisan lain, berjudul ”Repetition Series (3)”, Ary menunjukkan gerak obyek di dalam lukisan yang lebih dinamis. Di dalam lukisan itu ada 19 boneka plankton warna-warni dan satu tubuh boneka manusia yang terkulai. Di layar gawai, beberapa plankton terlihat bergerak ke atas, ke bawah, ke kiri, ke kanan. Ada pula yang berputar-putar mengelilingi obyek lukisan lainnya.
”Aplikasi Ars ini empowering (memperkuat) karya seni, juga memberikan fantasi tersendiri untuk setiap karya seni,” ujar Jonathan, perancang aplikasi gawai tersebut.
Jonathan semula merancang aplikasi Ars untuk menunjang kerja arsitektural. Aplikasi itu sebenarnya untuk memudahkan presentasi sebuah perencanaan arsitektural.
Aplikasi Ars ini pertama kali diterapkan pada lukisan-lukisan karya Putu Adi Suanjaya. Saat ini penerapan aplikasi Ars masih terbatas untuk gawai produk Apple, belum bisa untuk gawai Android.
Suanjaya, yang juga akrab disapa Kencut, lahir di Badung, Bali, tahun 1994. Sejak 2012, ia menempuh studi Seni Murni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia memiliki karya-karya lukisan dengan figur boneka warna-warni khas bermata kancing baju.
Boneka
Kancing sebagai mata boneka untuk lukisan Suanjaya itu punya kisah tersendiri. Ia memiliki seorang kakak yang bekerja di bidang konfeksi. Suanjaya di masa kecil sering diajak kakaknya berbelanja bahan-bahan konfeksi, seperti kain dan benang warna-warni, termasuk kancing baju.
”Dari situlah saya terinspirasi menjadikan obyek lukisan saya sebuah boneka dengan kain warna-warni bermata kancing baju,” ujar Suanjaya.
Semenjak kecil Suanjaya sudah akrab dengan melukis karena sering dilibatkan ayahnya untuk membuat ornamen-ornamen tradisional Bali.
Suanjaya pun mulai tertarik dengan ”boneka” barong dan rangda. Terpikir olehnya, barong dan rangda menarik untuk obyek lukisan. Namun, barong dan rangda itu diperuntukkan khusus ritual di Bali.
Suanjaya mengembangkan keinginannya untuk melukis boneka-boneka hasil imajinasi sendiri. Boneka ciptaan Suanjaya memiliki gestur tubuh manusia, tetapi bermuka rata dan hanya diberi sepasang mata dengan kancing baju.
”Saya menyebut karya-karya Suanjaya sebagai kaum mata kancing,” ujar Ary Indra yang kemudian menjadikan itu judul pameran tunggal pertama Suanjaya.
Suanjaya sendiri sudah berulang kali mengikuti pameran bersama. Di antaranya pada 2018, ia sempat mengikutsertakan karyanya untuk Auckland Art Fair with Redbase Art di Auckland, Selandia Baru.
Pada 2017, Suanjaya mengikuti pameran Youth Art + di Shanghai Himalayan Art Museum, China. Selain itu, ia juga berpartisipasi dalam Asian Student Young Artist Art Festival di Dongdaeum Design Plaza, Korea.
Mata kancing untuk setiap karya Suanjaya diberi makna khusus oleh kuratornya, Ary Indra, sebagai sesuatu yang satir. Dikatakannya, Suanjaya menolak mata dalam wujud seperti yang sesungguhnya karena mata merupakan awal pendosa.
Suanjaya mengamini hal itu. Tetapi, ia lebih menekankan narasi satir yang dibangun melalui ketubuhan boneka-bonekanya.
Sebuah boneka dengan tubuh yang panjang dan melilit tubuh boneka lain, misalnya. Suanjaya memberi judul lukisannya itu ”Green Snake” atau ”Ular Hijau”, berukuran cm 120 x 80 cm.
”Sering kali dalam hidup pertemanan, satu orang teman mengkhianati teman lainnya. Istilahnya, ’teman makan teman’. Inilah yang ingin saya sampaikan lewat lukisan tersebut,” kata Suanjaya.
Dalam perspektif budaya yang lebih luas, Suanjaya memberi makna karya-karyanya itu sebagai bagian atau cara melihat Bali dari luar. Suanjaya memungut semangat menghidupkan sebuah boneka untuk suatu kepentingan tertentu.
Di Bali, boneka barong dan rangda, misalnya, mampu dihidupkan untuk menunjang keperluan ritual tradisi di Bali. Melalui boneka-boneka hasil imajinasi dan pengalamannya di bidang konfeksi, Suanjaya juga bermaksud menghidupkan figur boneka dalam lukisannya.
Sembilan lukisan pada episode Repetisi, misalnya. Suanjaya mengatakan, dalam kehidupan sehari-hari kerap terjadi pengulangan atau repetisi. Tidur di malam hari, bangun di pagi hari. Lalu, sarapan, pergi ke sekolah atau bekerja. Pulang lagi ke rumah.
”Repetisi atau pengulangan sebetulnya tidak ada. Tanpa kita sadari, sebetulnya kita tidak mengulang, tetapi tumbuh,” ujar Suanjaya.
Ada sembilan karya yang ditampilkan dalam episode Repetisi tersebut. Ia membagi empat episode di dalam pameran itu, meliputi episode Kelahiran, Eksplorasi, Repetisi, dan Guardian (Penjaga).
Episode Kelahiran dimaknai sebagai titik tolak Suanjaya dalam berkarya. Episode Guardian dimaksudkan setiap manusia membutuhkan penjaga masing-masing. Di sini, ia terinspirasi epos Mahabharata.
Terlepas dari narasi yang dibangun, pameran Kaum Mata Kancing ini berhasil menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Pameran yang menyuguhkan cara baru untuk menikmati sebuah lukisan dengan gawai.
Tak ayal, itu memantik fantasi baru. (NAWA TUNGGAL)