JAKARTA, KOMPAS - Pemilihan umum serentak 2019 tinggal sekitar 80 hari lagi. Namun, aktivitas kampanye yang dibatasi sampai 13 April mendatang tidak banyak dirasakan sejumlah warga Jakarta yang harus memilih perwakilannya di parlemen. Warga pun menjatuhkan perhatian pada partai pengusung atau integritas mereka terkait tindak korupsi.
Selain memilih calon presiden dan wakil presiden, Pemilu 2019 juga mengikutsertakan pemilihan calon legislatif, yang antara lain anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemilih nantinya harus mencoblos setidaknya empat surat suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay berpendapat, para caleg belum melakukan kampanye yang masif. Jika hanya dengan mengandalkan spanduk atau poster, kampanye tidak cukup untuk memperkenalkan siapa mereka dan apa yang akan dilakukan.
"Mereka harus turun ke konstituen (orang yang tinggal di daerah pemilihannya). Ini memang perlu banyak waktu, karena mereka perlu apa yang mau dilakukan, bukan sekedar siapa mereka. Mereka perlu bertemu dan dialog dengan masyarakat di daerah pemilihannya," ujarnya.
Theodore Gilbert (18), calon pemilih muda asal Jakarta Selatan, mengaku tidak mengetahui adanya aktivitas kampanye calon legislatif (caleg) di daerah pemilihannya, selain pemasangan spanduk kampanye yang biasa ditemui di jalanan.
"Saya nggak tahu aktivitas kampanye mereka dan siapa mereka. Sepertinya saya akan golput," ujarnya saat ditemui di Jakarta, Minggu (3/2/2019). Pesta demokrasi periode ini akan jadi pengalaman pertamanya mengikuti pemilihan umum.
Warga lain, Teguh Tridarmadi (60), juga menilai kampanye caleg jelang Pemilu 2019 pada April mendatang sangat kurang dan tidak mengena pada materi substantif, seperti visi dan misi. "Kalaupun hanya dengan pemasangan atribut kampanye, kadang hanya foto calegnya saja," ujarnya.
Namun, nantinya ia akan memilih caleg berdasarkan partai politik (parpol) pengusung yang memiliki visi dan misi sesuai kepercayaannya, atau yang jelas akan mendukung calon presiden dan wakil presiden pilihannya.
Hal yang sama juga diungkapkan warga lainnya, seperti Dewy (49). "Kalau legislatif pilihannya dari partai pendukung calon presiden dan wakil presiden yang saya dukung. Yang pasti juga bukan mantan koruptor. Kalau cek satu per satu banyak sekali, apalagi banyak yang baru mencalonkan," ujarnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, kompleksnya pemilu di Indonesia membuat masyarakat sampai saat ini lebih mudah menjatuhkan perhatian pada partai politik pengusung atau sosok caleg yang mengikuti kontestasi.
"Meski mereka memilih caleg secara langsung, tapi impresi terhadap partai pengusung masih menjadi penentu dominan. Pemilu kita yang kompleks, besar, dan rumit membuat sosok caleg masih lebih jadi pertimbangan ketimbang aksinya," ujarnya.
Bukan koruptor
Namun demikian, beberapa kini mulai menaruh perhatian pada rekam jejak tertentu caleg yang akan dipilih, khususnya integritas terkait perlawanan korupsi. Hal ini mulai jadi pertimbangan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan daftar caleg yang pernah menjadi mantan narapidana korupsi.
"Saya dan orang-orang di lingkungan saya secara tegas akan pilih caleg yang tidak pernah tersangkut korupsi. Kita ingin pemerintahan Indonesia bersih, mau bekerja sehingga Indonesia maju," kata Teguh.
Pendapat yang sama juga diutarakan Roy Pantouw (48), "KPU sudah merilis caleg mana yang pernah diputus hukuman atas tindakan korupsi. Kita nggak akan pilih itu dulu," ujarnya.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisatif (Kode Inisiatif) Veri Junaidi menilai kebijakan KPU mengumumkan daftar caleg bekas koruptor cukup efektif. Namun, informasi itu perlu lebih disebarluaskan lagi agar pemilih dapat lebih menentukan caleg yang berintegritas.
"Pengumuman pertama kamerin harus ditindaklanjuti lagi supaya informasi caleg bekas koruptor ini bisa terdistribusi ke pemilih. Ini bisa dilakukan, misalnya, dengan mengumumkannya di TPS," ujarnya. (ERIKA KURNIA)