Duel melawan Arsenal, Minggu malam ini, menjadi awal ”pendakian” Manchester City pada Februari yang bak lintasan bermedan terjal.
MANCHESTER, SABTU —Manajer Liverpool FC Juergen Klopp akhir tahun lalu mengatakan, persaingan gelar juara Liga Inggris bak perlombaan lari maraton. Namun, pesaingnya yang adalah Manajer Manchester City Pep Guardiola mengartikannya lebih luas. Itu bak lari ultramaraton dengan lintasan alam penuh tanjakan dan turunan curam.
”Terkadang ada fase naik dan turunnya penampilan dalam satu musim. Para pemain tidak mungkin bisa senantiasa mempertahankan performa di level puncak selama 11 bulan, apalagi para kompetitor bersiap dengan baik dan ingin mengalahkan kami,” ujar Guardiola seperti dikutip dari Independent, Sabtu (2/2/2019).
Untuk kali kedua dalam karier, Guardiola merasakan tantangan sulit untuk dapat meraih gelar juara liga. Pada Rabu lalu, mereka tergelincir ketika menghadapi Newcastle United, tim papan bawah di Liga Inggris. Newcastle adalah representasi dari medan lari ultramaraton yang berupa turunan tajam. Jika tidak berhati-hati, apalagi didera kelelahan, si pelari pun bisa terpeleset di lintasan ratusan kilometer itu.
Situasi itu persis yang dialami City. Kelelahan fisik dan psikis—akibat menjalani empat kompetisi sekaligus, yaitu Liga Inggris, Liga Champions, Piala FA, dan Piala Liga—membuat mereka kehilangan konsentrasi. Bandingkan dengan Liverpool yang langkahnya jauh lebih ringan setelah melepas Piala Liga dan Piala FA. Mereka kini bisa fokus mengejar trofi Liga Inggris dan Liga Champions.
Meskipun demikian, tiada waktu bagi ”The Citizens” untuk rehat seraya merenungkan kekalahan dari Newcastle. Mereka telah dinanti lintasan panjang penuh tanjakan dan turunan curam bernama Februari. Pada bulan ini, mereka berturut-turut akan menghadapi Arsenal (3/2), Everton (7/2), Chelsea (10/2) di Liga Inggris, dan Schalke 04 (21/2) di Liga Champions. Lalu, pada 24 Februari City kembali ditunggu Chelsea pada final Piala Liga Inggris.
Duel kontra Arsenal di Stadion Etihad malam ini bakal menguji mental mereka dalam menghadapi rintangan sulit dan situasi tidak ideal. Meskipun memiliki banyak pemain hebat, City di rezim Guardiola dianggap labil. Mereka bisa sangat kuat dan dominan ketika situasi berjalan sesuai keinginan dan nyaris tidak ada tekanan dari lawan. Itu dibuktikan saat mereka menjuarai Liga Inggris musim lalu dengan deretan rekor dan nyaris tidak tersentuh.
Namun, situasinya berbeda ketika mereka punya pesaing yang setara. Dua musim lalu, misalnya, City terjatuh saat pergantian tahun. Pada Januari 2017, City melorot ke peringkat kelima setelah sempat memonopoli posisi puncak di awal musim. City, di musim pertama bersama Guardiola, kalah bersaing dari Chelsea dan Tottenham Hotspur. Mereka hanya finis ketiga pada akhir musim itu.
Dihampiri ”deja vu”
Deja vu pun menghampiri City. Semalam, mereka digusur Spurs dari peringkat kedua Liga Inggris musim ini setelah tim London itu membekap Newcastle, ”si pembunuh” City, 1-0. Spurs mempersengit persaingan yang sebelumnya hanya didominasi Liverpool dan City. Namun, kali ini City punya peluang memperbaiki kesalahan dua musim lalu.
Mereka masih punya kans juara jika mampu mengalahkan ”The Gunners”. Pulihnya bek sayap kiri, Benjamin Mendy, menjadi insentif mereka. City sangat menakutkan jika bek Perancis itu tampil. Ia kerap muncul dari belakang untuk memberikan asis mengejutkan kepada striker Sergio Aguero ataupun penyerang City lainnya.
Di lain pihak, Arsenal tengah limbung menyusul buruknya kinerja pertahanan mereka musim ini ditambah maraknya cedera bek.
”Saya khawatir akan bekas tim saya. Ya, kami kini kembali ke empat besar. Namun, City bakal marah dan berupaya memangkas jarak dari Liverpool. Kita semua tahu, City bisa merobek-robek tim mana pun,” ujar Charlie Nicholas, mantan pemain Arsenal di Sky Sports.