Pengawasan BPJS Kesehatan Belum Optimal
JAKARTA, KOMPAS — Transparansi dan pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dianggap belum optimal. Akibatnya, masih ada peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS yang harus membayar biaya tambahan.
Padahal, seharusnya peserta tidak dikenakan biaya tambahan karena sudah membayar iuran setiap bulan. Hal itu terjadi lantaran kurangnya informasi dan pengawasan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, masih adanya peserta JKN-KIS yang membayar biaya tambahan karena kurangnya informasi dan pengawasan dari BPJS Kesehatan. “Seharusnya petugas BPJS Kesehatan di rumah sakit lebih proaktif dalam mendampingi peserta JKN-KIS,” kata Timboel di Jakarta, Minggu (3/2/2019).
Seharusnya petugas BPJS Kesehatan di rumah sakit lebih proaktif dalam mendampingi peserta JKN-KIS.
Timboel mengatakan, informasi yang diberikan BPJS Kesehatan kepada peserta JKN-KIS tidak dilakukan secara intens. Petugas BPJS Kesehatan seharusnya mendatangi peserta JKN-KIS yang sedang dirawat dan menerangkan aturan secara jelas.
Ia menceritakan dalam mendampingi peserta JKN-KIS. Salah satu warga Bekasi, Lam Posma Mian Hot Asih (45) yang akrab dipanggil Mian diminta membayar Rp 2 juta untuk 10 kantong trombosit. Waktu itu Mian dirawat di salah satu rumah sakit di Bekasi karena demam berdarah.
Saat dikonfirmasi, Mian membenarkan hal tersebut. Ia segera memenuhi permintaan rumah sakit karena mendesak dan tidak tahu aturan BPJS Kesehatan. Padahal, ia sudah menunjukkan, sebagai peserta JKN-KIS. Setelah sembuh dan keluar dari rumah sakit, ia didampingi BPJS Watch melaporkan hal tersebut ke kantor wilayah BPJS di Bandung.
Baca juga: Tak Dapat Gunakan Layanan BPJS Kesehatan, Keluarga Pasien Lapor BPKN
Setelah membuat laporan, Mian diminta membawa kuitansi sebagai barang bukti dan uangnya dikembalikan oleh pihak rumah sakit. Akhirnya, uangnya sebesar Rp 4,5 juta yang telah dibayarkan ke pihak rumah sakit untuk membayar obat-obatan dan kantong trombosit dikembalikan. Mian mengaku, pembelian kantong trombosit tersebut atas permintaan dokter.
Kasus lain terjadi di Bogor, Jawa Barat. Siska Harum Sari (25) juga mengalami hal yang sama. Dia didiagnosa menderita demam berdarah. Menurut saran dokter, ia membutuhkan darah sebanyak 6 kantong. Pihak rumah sakit mengatakan, kalau yang dibayar oleh BPJS hanya dua kantong, sedangkan untuk 4 kantong lainnya Siska harus membayar sebesar Rp 3,2 juta.
Sebelumnya, Siska diminta membayar uang sebesar Rp 650.000. Ia pun segera melapor ke Jamkeswatch. Setelah mengurus bersama Jamkeswatch, uangnya dikembalikan oleh pihak rumah sakit. Pihak rumah sakit juga tidak memberikan 4 kantong darah yang pada awalnya harus dibayar sebesar Rp 3,2 juta dengan alasan Siska tidak membutuhkan tambahan darah lagi dan dinyatakan sudah membaik.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, paket daerah termasuk dalam tarif yang dibayar oleh BPJS Kesehatan. Sesuai dengan pedoman pelaksanaan JKN di Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) 28 tahun 2014, tidak boleh ada biaya tambahan selama pasien menempati hak sesuai kelasnya.
“Peserta JKN-KIS dapat melapor ke pengaduan rumah sakit atau ke BPJS Kesehatan sebagaimana diatur di Permenkes 99 tahun 2015,” kata Iqbal.
Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani mengatakan, jika ada peserta JKN-KIS yang diminta membayar biaya tambahan, maka mereka dapat melaporkan ke BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan, atau ke Kementerian Kesehatan.
Bayar obat
Selain adanya peserta JKN-KIS yang diminta membayar biaya tambahan pada layanan kesehatan, ada juga peserta JKN-KIS yang diminta membayar obat.
Di sebuah apotek mitra BPJS Kesehatan di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur sejumlah pasien mengaku, beberapa kali harus menuju apotek lain dan membeli obat dengan biaya pribadi. Padahal, pasien JKN-KIS seharusnya memperoleh obat secara gratis di apotek mitra BPJS Kesehatan.
“Di apotek ini memang obat sering kosong. Beberapa kali saya harus tebus obat di tempat lain,” kata Farah (30) saat ditemui di sebuah apotek mitra BPJS Kesehatan di Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (30/1/2019). Kala itu ia tengah menebus obat bersama ibunya yang sakit diabetes dan penyakit paru-paru, Yulianti (56).
Di apotek ini memang obat sering kosong. Beberapa kali saya harus tebus obat di tempat lain.
Farah mengatakan, dalam tujuh bulan, ia sudah membeli obat sendiri sebanyak empat kali. Obat tersebut ia beli di apotek lain dengan uang pribadinya. Sekali beli, ia bisa menghabiskan biaya sebesar Rp 120.000-Rp 150.000.
Selain itu, Farah pun kerap membeli persediaan obat sendiri setelah berobat. Apotek di rumah sakit tempatnya berobat memberi obat untuk dikonsumsi selama seminggu. Padahal, obat itu harus diminum setiap hari. Obat itu baru bisa diperoleh lagi saat kontrol kesehatan bulan depan.
“Jujur saja saya kecewa harus menebus obat sendiri. Padahal, katanya, semua biaya pengobatan gratis dengan BPJS. Buat orang yang tidak mampu, ini bisa membebani,” kata Farah.
Jujur saja saya kecewa harus menebus obat sendiri. Padahal, katanya, semua biaya pengobatan gratis dengan BPJS. Buat orang yang tidak mampu, ini bisa membebani.
Yulianti menambahkan, pelayanan kesehatan yang ia terima pun tidak selalu memuaskan. Bahkan, hingga kini, ia tidak tahu penyakit apa yang menyerang paru-parunya. Ia hanya disarankan untuk terus mengonsumsi obat setelah diagnosa penyakit tuberkulosis (TBC) yang menyerangnya meleset.
“Saat bertemu dokter juga saya tidak diperiksa dengan stetoskop. Hanya ditanya keluhannya dan dikasih resep obat. Hasil rontgen paru-paru pun hanya dokter yang paham artinya. Kami tidak dijelaskan,” kata Yulianti.
Walaupun begitu, Farah dan Yulianti belum pernah melapor ke pihak BPJS Kesehatan soal kendala yang dialami. Mereka mengaku tidak tahu prosedur untuk melapor.
Baca juga: Rp 1 Triliun untuk Tambah Penerima Iuran Gratis
Di Bogor, peserta JKN atas nama Muhammad Davva Firdaus (2) juga diminta harus membayar obat. Ia didiagnosa badan kembung karena gizi buruk.
Pada awalnya, ia dirawat di salah satu rumah sakit di Bogor. Namun, karena keterbatasan alat, ia dirujuk ke salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan.
Di rumah sakit tersebut, keluarga Davva diminta membeli obat di luar rumah sakit sebesar Rp 94.000. Sehari kemudian, keluarga Davva kembali diminta membeli obat sebesar Rp 82.000 di luar rumah sakit. Pada sore hari, perawat rumah sakit menyampaikan, Davva harus uji laboratorium di lain rumah sakit dan tidak ditanggung BPJS.
Keesokan harinya, pihak keluarga Davva menemui petugas BPJS di rumah sakit tersebut dan menyampaikan keluhan terkait pembayaran tersebut. Namun, keluarga Davva yang didampingi Jamkeswatch tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Deputi Direktur Advokasi dan Relawan James Watch Heri Irawan mengatakan, transparansi dan pengawasan yang dilakukan BPJS Kesehatan belum optimal. Selain itu, aturan bagi peserta JKN-KIS sering berubah-ubah. “BPJS Kesehatan kurang intens dalam sosialisasi, sehingga peserta JKN-KIS kurang mengetahui informasi dengan lengkap,” kata Heri.
Akibatnya, ketidaktahuan dari peserta JKN-KIS dimanfaatkan rumah sakit untuk memperoleh biaya tambahan. Apalagi, dengan adanya Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 yang akan memberlakukan ketentuan urun biaya, peserta JKN-KIS akan digiring agar membayar biaya tambahan.
Iqbal mengatakan, Program JKN-KIS sekarang berjalan di tahun keenam. Sosialisasi dilakukan melalui penyuluhan langsung, media cetak, daring, televisi, radio, dan sosial media. “Rumah sakit juga berkewajiban memberikan info soal hak dan kewajiban peserta, termasuk prosedur layanan,” kata Iqbal.
Case Manager BPJS Jakarta Barat Nony Indriani Yunita mengatakan, peserta dapat mengakses segala informasi di aplikasi Mobile JKN. Selain mendapatkan informasi, peserta JKN-KIS dapat bertransaksi menggunakan aplikasi ini.
Heri mengapresiasi aplikasi Mobile JKN yang mempermudah peserta JKN-KIS dalam mendapatkan pelayanan. Namun, sosialisasi terhadap Mobile JKN juga perlu dilakukan ke klinik atau puskesmas. “Beberapa klinik dan puskesmas masih meminta peserta membawa kartu JKN-KIS saat berobat,” ujar Heri.
Pembayaran kurang
Guru Besar Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, adanya penyimpangan di lapangan terjadi karena bayaran yang tidak memadai. “Akibatnya, rumah sakit dan dokter mengakali,” kata Hasbullah.
Ia mencontohkan, di salah satu kabupaten di Jawa Tengah terdapat kebijakan pimpinan puskesmas tidak memperbolehkan bidan menolong peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Akibatnya, Penerima Bantuan Iuran (PBI) pun harus membayar bidan karena bidan ada kontrak untuk tidak melayani peserta JKN.
Menurut Hasbullah, penyimpangan itu terjadi karena ada yang ingin mendapatkan uang lebih banyak. Namun, ia tidak mengetahui penyebab utamanya.
Ia menuturkan, permasalahan utama yang terjadi di BPJS Kesehatan, yaitu besaran iuran JKN yang tidak memadai. Akibatnya, pembayaran kepada klinik dan rumah sakit swasta tidak sesuai dengan biaya layanan kesehatan yang dikeluarkan.
Fakta yang ada, besaran kapitasi selama lima tahun tidak dinaikkan, padahal peserta JKN bertambah terus. “Kebijakan yang dilakukan pemerintah membuat dokter di rumah sakit kesulitan. Mereka pun mencari aman dengan tidak memberikan layanan kesehatan, seperti mengatakan obat habis dan peserta JKN tidak dilayani,” kata Hasbullah. (SEKAR GANDHAWANGI/SUCIPTO)