Teknologi Versus Rasa
Praktis, mudah, dan nyaman menjadi iming-iming dalam cara dan model baru berbelanja dengan memanfaatkan teknologi. Namun, berbelanja secara konvensional tetap tak tergantikan. Ada rasa yang berbeda saat melihat dan menyentuh langsung barang yang akan dibeli. Rasa belum tergantikan teknologi.
Di China, wisatawan dipikat dengan kecanggihan teknologi. Pengunjung restoran robotik Hema milik Grup Alibaba, raksasa perdagangan elektronik China, diajak mencoba pengalaman baru.
Restoran yang beroperasi pada 2018 ini memadukan wisata belanja dan kuliner. Seluruh aktivitas jual beli dilakukan mesin dan robot. Konsumen yang datang bisa memilih langsung hewan laut yang akan dimasak. Jika antrean memasak penuh, hewan laut itu dimasukkan ke kulkas agar tetap segar. Proses pemilihan olahan makanan dilakukan melalui aplikasi Hema sebelum memilih tempat duduk.
”Begitu kita datang, robot-robot pembawa makanan langsung tiba di samping meja. Efisien, tak perlu lama antre,” ujar Winny Tang (27), pengunjung asal Indonesia.
Restoran ini berada di lokasi yang sama dengan supermarket Hema. Pengunjung yang datang biasanya menunggu pesanan makanan sembari berbelanja.
Supermarket ini menjual berbagai jenis sayuran, buah, daging, dan aneka makanan segar. Konsumen juga bisa mengetahui asal produk dengan memindai kode batang menggunakan aplikasi khusus. Saat ini, ada 100 supermarket Hema di China yang berlokasi di 16 kota, antara lain Shanghai, Beijing, Ningbo, Shenzhen, Hangzhou, dan Guiyang.
Bagi Winny, pengalaman wisata unik menjadi incaran tersendiri setiap bepergian ke luar negeri. Ia akan mencoba berbagai hal yang sulit ditemukan di Indonesia. Baginya, harga bukan persoalan utama karena ada pengalaman dan cerita menarik yang layak dibayar mahal.
”Selain pemandangan, juga mencari pengalaman yang enggak bisa dilakuin di Indonesia,” katanya.
Selain restoran, Alibaba juga menawarkan pengalaman berbelanja di gerai ritel RT-Mart. Salah satu jaringan hipermarket terbesar di China ini memiliki beraneka jenis mesin interaktif. Pengunjung bisa memilih barang yang akan dibeli melalui mesin khusus tanpa harus mengelilingi gerai. Produk yang dipilih langsung keluar dari mesin.
Namun, pengunjung juga bisa mencoba produk tertentu secara virtual, misalnya, produk kecantikan dan pakaian. Pengunjung tak perlu pergi ke ruang ganti untuk mencoba baju atau mencoba rias wajah tertentu.
Pengunjung juga bisa mencoba produk tertentu secara virtual.
Alibaba menerapkan teknologi untuk digitalisasi, bukan mengubah bisnis ritel berbasis luar jaringan (luring) ke daring secara total. Pemanfaatan teknologi akan membantu kinerja operasional bisnis ritel berbasis luring lebih efisien serta meningkatkan keuntungan bisnis ritel daring.
”Ada banyak layanan yang kami sediakan di seluruh ekosistem Alibaba, dan untuk semua kategori (layanan) berjalan sangat baik,” ujar Executive Vice Chairman Alibaba Joe Tsai.
Penyedia laman e-dagang asal China, JD, juga berusaha mengenalkan cara belanja nan futuristik kepada masyarakat Indonesia. Pada Agustus 2018, JD membuka toko JD.ID X di Pantai Indah Kapuk Avenue, Jakarta. Gerai belanja fisik itu dilengkapi berbagai fitur teknologi digital, seperti kecerdasan buatan dan sistem pembayaran nontunai.
Proses belanja dan membayar bisa lebih cepat karena menggunakan kode baca cepat (scan QR code) di setiap produk. Kasir pun tak ada karena pembayaran menggunakan uang elektronik.
Gerai belanja fisik itu dilengkapi berbagai fitur teknologi digital.
Penggunaan teknologi secara sederhana juga sudah diterapkan sejumlah restoran cepat saji di Paris, Perancis. Pengunjung mesti memilih makanan di layar sentuh yang disediakan di dalam restoran, lalu membayar pesanannya, baik secara nontunai di mesin maupun tunai di kasir. Selanjutnya, pembeli mendapatkan nomor antrean.
Siap-siap saja memantau layar televisi di atas meja layanan. Pesanan yang sudah selesai disiapkan bisa diambil berdasarkan nomor antrean yang tertera di layar televisi itu. Cepat dan ringkas. Percakapan pembeli dengan karyawan restoran berkurang. Dampaknya, restoran semacam ini lebih minim karyawan.
Bagi yang belum terbiasa, model pemesanan seperti ini menimbulkan daya tarik tersendiri. Apalagi, menu yang ditampilkan di layar pemesanan disertai foto atau gambar yang membuat perut semakin keroncongan. Jangan sampai tergiur gambar sehingga jadi ”lapar mata” atau memesan lebih dari yang dibutuhkan.
Konvensional
Kendati cara dan model berbelanja kian canggih, cara belanja konvensional tetap ada dan tidak surut. Konsumen tetap merasa perlu datang ke toko, memegang barang yang akan dibeli, lalu mematut diri di depan cermin.
Ada calon pembeli yang merasa harus menyentuh, bahkan memandangi barang yang akan dibeli itu lekat-lekat. Tak jarang, pembeli meminta pendapat dari karyawan yang sangat paham soal barang di toko itu.
Di New York, Amerika Serikat, Woodbury Common Premium Outlets adalah salah satu tujuan para pembelanja. Tak hanya untuk keperluan sendiri, pembeli yang datang ke kawasan berjarak 3 jam berkendara dari pusat kota New York itu bisa jadi berbelanja untuk kerabat atau rekan-rekannya, bahkan menerima jasa titipan.
Kawasan ini berisi deretan toko dari berbagai merek, baik produk asal Amerika Serikat maupun negara lain. Umumnya, barang yang disediakan di setiap toko dijual dengan harga diskon karena desain sesuai musim baru sudah muncul.
Di negara seperti AS yang mengalami empat musim—yakni dingin, panas, semi, dan gugur—desain mode juga menyesuaikan dengan musim itu. Pada saat musim berganti, mode pun berganti. Pakaian, tas, sepatu, dan jam tangan yang dirilis pada musim sebelumnya akan didiskon harganya pada musim berikutnya.
Carla, yang ke New York pada Januari lalu, semangat berburu pakaian dan mainan anak-anak di Woodbury, yang saat itu dikepung suhu minus 3 derajat celsius. Ia tak lelah masuk-keluar toko sambil menenteng dua tas besar berisi pakaian dan mainan anak. Baginya, tak ada cerita membeli pakaian secara daring karena tidak bisa meneliti setiap jengkal pakaian itu.
Konsumen yang ingin memiliki model terbaru produk ternama AS mesti berganti arah ke kawasan 5th Avenue di New York atau Georgetown di Washington DC. Di sana, berjajar butik yang menyediakan merek asal AS yang populer di Indonesia, seperti Coach dan Tory Burch, atau toko yang menyediakan barang-barang bermerek, yakni Saks Fifth Avenue.
Tia, asal Indonesia, membeli sebuah tas Coach keluaran terbaru. Sebelum transaksi dilakukan, karyawan toko mempersilakan Tia meneliti tas itu lekat-lekat. ”Titipan kakakku,” kata Tia. Meskipun butik Coach ada di Jakarta, kakak Tia memilih menitip kepada adiknya. Kenapa tidak membeli secara daring? ”Kakakku lebih suka lihat langsung ke tokonya, atau paling tidak nitip ke aku yang dipercaya bisa lihat barang yang akan dibeli. Lebih puas,” kata Tia.
Cara belanja boleh bermacam-macam. Namun, soal rasa tetap tak tergantikan.(KRN/IDR)