JAKARTA, KOMPAS - Mantan Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat (nonaktif) Amin Santono dan anaknya, Eka Kamaluddin, sama-sama divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi, di hari yang sama, Senin (4/2/2019), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Eka terbukti menjadi perantara penerimaan uang suap untuk Amin Santono.
Amin Santono divonis pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. Tak hanya itu, Amin juga diperintahkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 1,6 miliar. Selain itu, hak untuk dipilih dalam jabatan publik, dicabut selama tiga tahun.
Hal itu disampaikan majelis hakim yang diketuai hakim Mochamad Arifin pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/2/2019).
Hukuman yang disampaikan hakim itu lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa. Sebelumnya, Amin dituntut sepuluh tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Amin juga dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 2,9 miliar dan dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun.
“Mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan gabungan beberapa kejahatan,” kata Hakim Mochamad Arifin.
Amin terbukti menerima uang Rp 3,3 miliar dari Taufik Rahman selaku Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Lampung Tengah dan Ahmad Ghiast selaku Direktur CV Iwan Binangkit sebagai penyedia barang/jasa di Kabupaten Sumedang.
Uang tersebut untuk menggerakkan Amin agar meloloskan Kabupaten Lampung Tengah mendapatkan alokasi tambahan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2018 (APBN) dan Kabupaten Sumedang mendapatkan alokasi tambahan dari APBN-Perubahan tahun 2018.
Amin pun meminta anaknya, Eka Kamaluddin, untuk mengajukan proposal penambahan anggaran beberapa kabupaten guna membiayai bidang pekerjaan prioritas. Lalu, proposal itu diserahkan kepada Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Badan Anggaran DPR, dan Komisi XI DPR.
Selanjutnya, Amin mempertemukan Eka dengan Yaya Purnomo (staf Kementerian Keuangan) yang membantu meloloskan proposal anggaran tersebut. Yaya Purnomo pun menyetujuinya permintaan itu. Amin juga meminta komitmen fee sebesar tujuh persen dari anggaran yang akan diterima setelah proposal pengajuan itu disetujui.
Menyalahgunakan kewenangan
Hakim menyebutkan, Amin sebagai anggota DPR memiliki fungsi pengawasan dan budgeting yang seharusnya mengawasi lembaga pemerintahan seperti Kementerian Keuangan. Namun, ia tidak menjalankan hal tersebut. Ia justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajibannya yaitu, menerima suap bersama pejabat Kemenkeu.
“Menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokok,” ujar hakim Mochamad Arifin.
Hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman bagi terdakwa. Hal yang memberatkan yaitu, Amin tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Atas putusan tersebut, Amin memberikan jawaban kepada hakim untuk memikirkan kembali putusan tersebut. Hakim pun memberikan waktu maksimal tujuh hari sejak sidang putusan berlangsung. Ini artinya, batas waktu berakhir, Senin (11/2/2019).
Vonis Eka
Sementara itu, Eka Kamaluddin dalam sidang terpisah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, divonis pidana empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider satu bulan kurungan. Eka juga dituntut membayar uang pengganti Rp 158 juta. Hakim Rustiyono menyatakan Eka terbukti bersalah menjadi perantara penerimaan uang dari Taufik dan Rahman untuk Amin.
Vonis hakim ini pun lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yaitu, dituntut pidana lima tahun enam bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan. Eka juga dituntut membayar uang pengganti Rp 158 juta.
Hakim dalam menentukan hukuman untuk Eka telah melakukan sejumlah pertimbangan. Hal yang memberatkan yaitu, Eka tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi dan merugikan masyarakat.
Hal yang meringankan Eka yaitu pengajuan diri sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan jaksa untuk mengungkap kasus (justice collaborator), terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya, dan menyesali perbuatannya.
Atas putusan tersebut, Eka memberikan jawaban kepada hakim untuk memikirkan kembali putusan tersebut. Hakim pun memberikan waktu maksimal tujuh hari sejak sidang putusan berlangsung.
Amin dan Eka terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. (MELATI MEWANGI)