JAKARTA, KOMPAS - Penyelenggara pemilu seyogyanya merespon maraknya isu dan tumbuhnya gerakan mendorong pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya di media sosial belakangan ini. Komisi Pemilihan Umum perlu memperluas pengetahun pemilih mengenai profil calon anggota legislatif yang spektrum politiknya sebenarnya beragam.
Fenomena golongan putih atau golput, menurut Direktur Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Sigit Pamungkas, sebenarnya sudah ditemui dalam beberapa kali pemilu yang digelar di era reformasi. Alasannya beragam. Namun, golput karena alasan substantif seperti tidak ada program, caleg, atau kandidat yang sesuai dengan pemikiran dan kepentingan mereka, sejatinya menjadi problem utama yang membuat akhirnya mereka tak menggunakan hak pilih.
“Dari semua spektrum politik yang ada, sebenarnya caleg dalam pemilu kali ini sangat beragam. Pilihannya banyak, dan pasti di antara mereka ada yang memberikan advokasi pada isu keadilan, ekonomi, kelompok minorotas, masyarakat adat, dan lingkungan. Spektrum yang luas itu seharusnya jadi pertimbangan penyelenggara pemilu untuk membuka profil caleg, sehingga pemilih bisa mengetahui kualitas dan program masing-masing caleg,” kata Sigit.
Terkait dengan hal tersebut, data caleg menjadi penting untuk dibuka. KPU perlu mendorong partai politik unguk membuka data-data para caleg mereka.
“Saat ini baru sekitar separuh caleg yang mau membuka curriculum vitae atau profil mereka. Ini menjadi persoalan, karena dengan tidak bisa memantau profil mereka, pemilih akan kesulitan untuk menentukan pilihan,” ujarnya.
Lebih jauh KPU bisa membuka data-data caleg itu kepada publik dan melakukan profiling satu per satu caleg. Misalnya, berapa caleg yang mengangkat isu lingkungan hidup, yang peduli pada masyarakat adat, isu-isu perempuan, atau caleg yang memiliki perhatian pada isu hak asasi manusia. Dengan profiling semacam itu, menurut Sigit, publik akan mendapatkan cukup informasi tentang caleg yang sesuai dengan preferensi dan aspirasi kepentingan mereka.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini pun mendorong pemilih untuk tidak memilih caleg yang tidak mau membuka datanya kepada publik. Ketidakterbukaan data itu membuat pemilih tidak bisa mengetahui rekam jejak calon, juga bisa memicu keraguan akan kapabilitas dan kompetensi yang bersangkutan.
Sosialisasi
Anggota KPU Wahyu Setiawan mengatakan, pihaknya memandang golput sebagai hal yang wajar dalam negara demokrasi, sepanjang tidak ada upaya menghalang-halangi orang untuk menggunakan hak pilihnya.
“Kami sudah dan akan terus berupaya agar partisipasi terus meningkat. Upaya sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemilu selalu kami lakukan,” katanya.
Terkait dengan caleg yang tidak mau membuka datanya, KPU tidak bisa memaksa karena hal itu merupakan pilihan terbuka. Caleg dan parpol diberi keleluasaan untuk membuka atau tidak membuka datanya kepada publik.
Untuk pemilu kali ini, KPU menargetkan tingkat partisipasi pemilih bisa mencapai 77,5 persen. “Sebenarnya tugas untuk mendorong partisipasi pemilu bukan hanya kewajiban KPU karena peserta pemilu, yakni parpol berikut calegnya, juga berkampanye agar pemilih memberikan pilihannya. Pemerintah juga melakukan itu,” ujar Wahyu.