Demi Momen Kebersamaan
Warga Singkawang, Kalimantan Barat, di perantauan tak ingin melewatkan momen Imlek sendirian. Mereka berjuang keras untuk berkumpul bersama keluarga.
Ribuan lampion menghiasi jalan-jalan utama Kota Singkawang. Ruko-ruko dan pusat perbelanjaan di sana juga dipenuhi lampion. ”Kota seribu kelenteng” itu bersolek menyambut Imlek, Selasa (5/2/2019).
Warga Singkawang yang berada di perantauan pun mulai berdatangan. Mereka ingin menikmati momen setahun sekali itu untuk berkumpul bersama keluarga.
Josua Kumala (23), warga Singkawang yang tinggal di Australia, tiba di Singkawang sejak tanggal 30 Januari. Ia sibuk membantu orangtuanya membersihkan rumah dan membuat kue, Sabtu (2/2), untuk disajikan pada malam Imlek.
Selain kuliah, Josua yang tinggal di Sydney sejak 2015 itu juga menjadi koki restoran Jepang dengan upah sekitar Rp 200.000 per jam. Dalam satu bulan, penghasilannya Rp 20 juta. Setelah digunakan untuk biaya kuliah dan sewa apartemen serta keperluan hidupnya, ia bisa menabung Rp 3 juta-Rp 4 juta per bulan.
”Harus berhemat. Saya tidak ada kiriman dari orangtua. Saya hidup mandiri di sana sejak tamat SMA. Di sana juga tidak ada saudara. Saya harus bisa mengatur keuangan sendiri,” kata Josua.
Sejak jauh-jauh hari ia menabung untuk dapat membeli tiket pergi-pulang Australia-Singkawang. Ia pun rajin mencari promosi tiket pesawat sehingga bisa mendapatkan tiket pergi-pulang Australia-Singkawang Rp 10 juta.
Tahun lalu, Joshua tidak bisa pulang ke Singkawang saat Imlek karena tabungannya tidak mencukupi untuk biaya mudik. ”Ada yang kurang rasanya jika tidak berkumpul dengan keluarga. Maka, tahun ini, saya tidak mau melewatkan momen itu sendirian,” ujarnya.
Demikian halnya Hendra (31), warga Singkawang yang bekerja di toko kamera di Jakarta dan sudah pulang ke Singkawang sejak beberapa hari lalu. Dengan penghasilan yang tidak begitu memadai, ia sejak jauh-jauh hari menabung untuk bisa pulang ke Singkawang. Bahkan, ia membeli tiket tiga bulan sebelumnya untuk mencari harga yang relatif murah.
Hendra pun merayakan Imlek dengan sederhana. Di rumahnya tidak tampak hiasan Imlek yang berlebihan. ”Masak pun tidak banyak menu, sesuai kemampuan saja. Yang penting bisa kumpul keluarga,” katanya.
Warga lain, Suryanto (23), yang merupakan mahasiswa semester VIII salah satu perguruan tinggi di Jakarta, juga sudah tiba di Singkawang seminggu lalu. Sekitar tiga tahun lebih di Jakarta, ia belum pernah sekalipun pun merayakan Imlek bersama orangtuanya di Singkawang.
”Tahun-tahun sebelumnya selalu berhalangan karena ada urusan kampus. Tahun ini, saya sempatkan kembali ke Singkawang karena ingin kembali menikmati Imlek bersama keluarga,” ujarnya.
Rayakan kebersamaan
Bagi warga Singkawang di perantauan, Imlek sekaligus momen kebersamaan dengan masyarakat etnis lain. Ini karena Imlek di Singkawang tidak hanya melibatkan warga Tionghoa, tetapi juga warga lintas etnis. Suasana guyub itu yang membuat mereka rindu untuk pulang kampung.
Penduduk di Singkawang memang beragam. Dari 215.296 penduduknya, sekitar 40 persen merupakan etnis Tionghoa, diikuti etnis Melayu 29 persen, Dayak 9 persen, dan sisanya etnis lain, seperti Madura dan Jawa.
Alfian, sekretaris panitia Imlek dan Cap Go Meh Singkawang tahun ini, mengatakan, ada 17 paguyuban multietnis di Singkawang yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan Imlek dan Cap Go Meh. Hal itu kian meneguhkan Singkawang sebagai kota tertoleran se-Indonesia pada 2018 dalam penilaian Setara Institute. (EMANUEL EDI SAPUTRA)