Mantan pejabat di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (nonaktif), Yaya Purnomo, divonis enam tahun enam bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider satu bulan 15 hari kurungan oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi.
Oleh
A Ponco Anggoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Mantan pejabat di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (nonaktif), Yaya Purnomo, divonis enam tahun enam bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider satu bulan 15 hari kurungan oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pembacaan berkas putusan itu dilakukan oleh ketua majelis hakim Bambang Hermanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (4/2/2019).
Hukuman yang disampaikan tersebut lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa. Sebelumnya, Yaya dituntut sembilan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi.
Seperti diketahui, Yaya pada Mei 2018 ditangkap tangan oleh KPK bersama anggota DPR dari Partai Demokrat, Amin Santono.
Hakim menyatakan, Yaya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan gabungan beberapa kejahatan. “Menjatuhkan pidana penjara selama enam tahun enam bulan dan denda sebesar Rp 200 juta subsider 1 bulan 15 hari kurungan,” kata Hakim Bambang Hermanto.
Yaya terbukti menerima hadiah berupa uang yang keseluruhan berjumlah Rp 300 juta dari Mustafa selaku Bupati Kabupaten Lampung Tengah melalui Taufik Rahman (Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah). Uang tersebut merupakan bagian terpisah dari Rp 2,8 miliar yang diterima anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Demokrat (nonaktif) Amin Santono dan Eka Kamaluddin (anak Amin).
Uang tersebut untuk meloloskan alokasi anggaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
Eka diminta Amin untuk mengurus pengajuan proposal penambahan anggaran beberapa kabupaten guna membiayai bidang pekerjaan prioritas. Proposal itu diserahkan kepada Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Badan Anggaran DPR, dan Komisi XI DPR.
Eka juga menawarkan pengurusan proposal dari anggaran DID APBN Tahun Anggaran (TA) 2018 kepada Taufik. Selanjutnya, Taufik mempersiapkan proposal untuk pengajuan DID TA 2018. Eka dan Amin pun menyerahkan proposal itu kepada Sukiman selaku koordinator Badan Anggaran di Komisi XI DPR.
Amin meminta Yaya untuk mengawal pengajuan proposal anggaran DAK untuk Kabupaten Lampung Tengah, sekaligus mengawal pengajuan proposal DAK dari Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Kota Tual.
Setelah anggaran DAK Kabupaten Lampung Tengah turun dan masuk dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 tahun 2017 tentang penjabaran APBN TA 2018, Amin melalui Eka menagih uang komitmen fee sebesar tujuh persen untuk setiap proposal yang disetujui.
Dari uang fee tersebut, Yaya menerima uang sebesar Rp 300 juta dalam dua kali penerimaan yaitu, Rp 100 juta yang diterima di Rumah Makan Es teller 77 Atrium Senen Jakarta Pusat dan Rp 200 juta yang diterima di parkiran Kementerian Keuangan RI Jakarta Pusat.
Hakim menyebutkan, Yaya terbukti menerima total gratifikasi berupa uang sejumlah Rp 6, 529 miliar, 55.000 dollar AS, dan 325.000 dollar Singapura. Penerimaan itu berkaitan dengan imbalan bagi Yaya dan Rifa Surya (Kepala Seksi Perencanaan DAK nonfisik) yang menjanjikan delapan daerah memperoleh anggaran di DAK dan DID APBN TA 2018.
Delapan daerah tersebut yaitu, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Kampar, Kota Dumai, Daerah Labuhanbatu Utara, Kota Balikpapan, Kabupaten Karimun, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Tabanan.
Hakim dalam menentukan hukuman Yaya telah melakukan pertimbangan. Hal yang memberatkan yaitu, bahwa Yaya tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi akibatnya merugikan masyarakat pengguna infrastruktur. Sedangkan hal yang meringankan yaitu, Yaya berterus terang selama sidang dan telah mengakui perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya.
Hakim menyatakan, Yaya bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Atas putusan tersebut, Yaya menerima semua putusan yang diberikan hakim. Sementara itu, jaksa Wawan Yunarwanto memberikan respon untuk ‘pikir-pikir’ dahulu. Hakim pun memberikan waktu kepada jaksa untuk berpikir maksimal tujuh hari sejak sidang putusan itu berlangsung. (MELATI MEWANGI)