Perayaan Imlek di Tanah Air tak selamanya identik dengan kemeriahan dan kemewahan. Banyak pula warga keturunan China yang harus merayakan dalam kesederhanaan, bahkan kekurangan. Eksistensi mereka mengingatkan, untuk tetap berbagi dalam suka cita Imlek.
Oleh
A Ponco Anggoro
·3 menit baca
Perayaan Imlek di Tanah Air tak selamanya identik dengan kemeriahan dan kemewahan. Banyak pula warga keturunan Tionghoa yang harus merayakan dalam kesederhanaan, bahkan kekurangan. Eksistensi mereka mengingatkan untuk tetap berbagi dalam sukacita Imlek.
Di gang-gang sempit pecinan Petak Sembilan, Jakarta Barat, samar-samar para pemilik rumah berbincang ditemani alunan lagu berbahasa Mandarin. Sesekali mereka menikmati sajian khas Imlek yang disajikan oleh tuan rumah.
Kumpul keluarga atau teman dekat menjadi tradisi warga keturunan Tionghoa saat tiba Imlek. Tak hanya itu, mereka terbiasa merayakannya dengan makan dan minum bersama. Dan bagi anak-anak, angpau menjadi salah satu yang dinantikan. Saat Imlek, mereka terbiasa menerimanya dari orangtua, anggota keluarga yang sudah menikah, atau kerabat.
Bagi yang berdompet tebal, tidak jarang Imlek dirayakan di restoran mewah, menghadiri acara-acara Imlek di hotel berbintang atau di mal, atau berlibur bersama ke tempat-tempat wisata.
Namun, di luar ingar bingar yang kerap terlihat itu, tak sedikit warga keturunan Tionghoa justru hidup dalam kekurangan sehingga saat Imlek, mereka terpaksa mengemis. Jimny (60) atau Souw Tji Hwat salah satunya.
Sejak dua hari lalu, dia sudah ke Kelenteng Kim Tek Le atau Wihara Dharma Bhakti di Petak Sembilan. Dia bersama puluhan pengemis lain menunggu angpau dari para warga keturunan Tionghoa yang hendak berdoa di sana.
”Imlek itu berkah untuk semua orang,” kata Jimny, Senin (4/2/2019).
Pada 2003, Jimny jatuh melarat saat usaha penjualan alat dapur miliknya di bilangan Jembatan Lima, Jakarta Barat, bangkrut. Musibah kemudian menimpanya lagi saat dia ditabrak mobil sehingga kaki kanannya cacat.
”Dulu pernah cari kerja, tapi enggak ada yang mau menerima karena saya pincang,” ujar Jimny.
Tak hanya Jimny, Susanti Widodo (76), warga keturunan Tionghoa lainnya, juga ikut mengemis di Kelenteng Kim Tek Le setiap kali Imlek.
Mengemis dipilihnya setelah tak lagi menjadi dokter gigi di instansi Kepolisian Udara (sekarang bernama Korps Kepolisian Air dan Udara) sejak 2001. Dia memang masih rutin memperoleh uang pensiun Rp 2 juta per bulan dari instansi itu, tetapi uang itu dinilainya tak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya.
Terlebih uang tabungan yang bertahun-tahun dikumpulkannya, dan diharapkan bisa menutupi kebutuhan hidupnya saat tak lagi bekerja, ludes setelah dirinya ditipu rekan bisnisnya. Ini terjadi saat Susanti mencoba berwirausaha.
”Sekarang saya hidup sendiri, suami sudah meninggal, tidak punya anak, merayakan Imlek bareng sama tikus-tikus nakal di kontrakan,” kata Santi.
Terkadang, nasib yang dialaminya membuat Santi putus asa. Untuk bisa kembali bangkit, tak jarang dia membaca buku di Gramedia, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Ia memilih buku-buku yang sudah dibuka oleh calon pembeli lain, lalu membacanya di kursi dekat jendela di toko tersebut.
”Di sana manajernya baik, enggak pernah marahin saya. Kalau enggak salah, namanya Pak Jack dan Pak Subandrio. Waktu Natal, mereka kasih saya angpau,” ujar Santi tersenyum.
Seruan Matakin
Di tengah realitas masih banyaknya warga keturunan Tionghoa dan masyarakat dari etnis lain yang harus hidup dalam kekurangan, seruan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) untuk Imlek 2570 sangat relevan.
Dikutip dari situs resmi Matakin, Ketua Umum Dewan Rohaniwan/Pimpinan Pusat Matakin Budi S Tanuwibowo mengajak masyarakat keturunan Tionghoa untuk menjadikan Imlek tidak sekadar sebagai pergantian tahun yang cuma dirayakan dengan pesta pora.
Imlek adalah momen refleksi diri kita sebagai pribadi, makhluk sosial, dan insan Tuhan. Momen untuk memperbarui diri dan merawatnya setiap hari agar senantiasa baru.
Ajakan Matakin ini selaras dengan tema Imlek yang diangkat tahun ini, yaitu ”Penimbunan kekayaan akan menimbulkan perpecahan di antara rakyat, tersebarnya kekayaan akan menyatukan rakyat”.
”Tema ini untuk mengingatkan kita semua betapa persoalan keadilan, terutama yang terkait dengan kesejahteraan, amatlah penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai kita lalai karena akibatnya amat mahal,” tutur Budi S Tanuwibowo. (PANDU WIYOGA)